Diskusi idealnya menjadi ruang bertukar gagasan, mencari solusi, atau sekadar memahami sudut pandang orang lain. Tapi, sering kali perdebatan yang seharusnya mencerahkan justru berujung pada kesalahpahaman, ketegangan, atau bahkan permusuhan.
Salah satu penyebab utama dari dinamika ini adalah munculnya kesalahan berpikir atau logical fallacies yang mengalihkan fokus dari substansi perdebatan. Dua di antaranya yang paling sering terjadi adalah ad hominem dan distorsi argumen.
Kedua kesalahan ini tidak hanya menghambat diskusi yang produktif, tetapi juga memperburuk polarisasi dalam masyarakat. Bagaimana cara kerja ad hominem dan distorsi argumen? Mengapa keduanya begitu sering digunakan, dan apa dampaknya bagi komunikasi kita? Mari kita telaah lebih dalam.
Memahami Ad Hominem, Serangan terhadap Personal Bukan Argumen
Ad hominem merupakan jenis kesesatan berpikir yang terjadi ketika seseorang menyerang karakter, latar belakang, atau aspek pribadi lawan bicaranya bukan membahas substansi argumen yang disampaikan.
Dalam bahasa Latin, ad hominem berarti "terhadap orangnya," yang menggambarkan bahwa fokus argumen beralih dari pernyataan yang diajukan kepada karakter individu yang menyampaikan pernyataan tersebut.
Sebagai contoh, dalam diskusi mengenai kebijakan ekonomi, seseorang dapat menolak pendapat orang lain bukan karena argumen yang lemah, tetapi dengan mengatakan, "Apa yang kamu tahu tentang ekonomi? Kamu bahkan bukan seorang ekonom." Serangan semacam ini mengabaikan validitas argumen yang disampaikan dan justru menggiring diskusi ke ranah personal.
Menurut Tindale (2021), ad hominem merupakan bentuk manipulasi retoris yang bertujuan untuk mendiskreditkan lawan bicara tanpa perlu membantah argumen secara logis.
Kesalahan berpikir seperti ad hominem sering kali muncul karena berbagai alasan. Salah satunya adalah ketidakmampuan atau ketidakmauan individu untuk memberikan counter-argumen yang kuat terhadap poin yang disampaikan lawan bicara.
Hirarki Ketidaksepakatan Graham (Piramida debat) | Image by paulgraham.com
Bukannya mengakui kelemahan dalam posisi mereka atau berusaha memahami perspektif lain, mereka memilih untuk menyerang pribadi lawan sebagai upaya untuk mendiskreditkan argumen tersebut. Hal ini tidak hanya menunjukkan kurangnya kedewasaan intelektual, tetapi juga mencerminkan ketidakmampuan dalam berpikir kritis.