Lihat ke Halaman Asli

nandaputri

mahasiswa

kesenian nyadran sawuran yang berasal dari bojonegoro

Diperbarui: 10 Maret 2025   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

*Kesenian Nyadran Sawuran yang berasal dari Bojonegoro*
 Kabupaten Bojonegoro yang terkenal dengan kekayaan minyak buminya. Namun, di balik kekayaan alamnya itu, tersimpan pula kekayaan budaya yang tak kalah berharga. Salah satunya adalah kesenian Nyadran Sawuran, sebuah tradisi yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat agraris yang telah berlangsung selama beberapa generasi.

*Asal-usul Nyadran Sawuran*
Kata "nyadran" sendiri berasal dari bahasa Jawa "sraddha" yang berarti upacara penghormatan kepada leluhur. Sementara "sawuran" berasal dari kata "sawur" yang berarti tabur atau sebar. Tradisi ini konon bermula pada masa Kerajaan Mataram Islam, ketika masyarakat Bojonegoro masih berada di bawah kekuasaan kerajaan tersebut.

*Waktu Pelaksanaan dan Makna*
Nyadran Sawuran biasanya dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu dalam penanggalan Jawa, terutama menjelang musim tanam padi. Di beberapa desa di Bojonegoro, tradisi ini juga dilakukan setelah panen sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang melimpah.
"Bagi kami, Nyadran Sawuran bukan sekadar ritual. Ini adalah ungkapan terima kasih kepada alam dan Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan melalui hasil bumi,

*Tahapan Pelaksanaan*
Pelaksanaan Nyadran Sawuran di Bojonegoro memiliki beberapa tahapan yang sarat makna. Berikut adalah tahapan-tahapan tersebut:
1. Bersih Desa
Beberapa hari sebelum acara utama, warga bergotong royong membersihkan desa, termasuk makam leluhur, sumber mata air, dan tempat-tempat yang dianggap keramat. Kegiatan ini tidak hanya bertujuan untuk kebersihan fisik, tetapi juga sebagai simbol pembersihan diri dari hal-hal negatif.
2. Selamatan di Rumah
Setiap keluarga menyiapkan tumpeng dan berbagai makanan tradisional seperti jenang abang (bubur merah), jenang putih, dan jajanan pasar. Makanan-makanan ini memiliki makna filosofis tersendiri. Jenang abang melambangkan asal-usul manusia dari darah ibu, sementara jenang putih melambangkan asal-usul dari sperma ayah.
3. Arak-arakan
Pada hari yang ditentukan, semua warga berkumpul dengan membawa hasil bumi dan makanan yang telah disiapkan. Mereka kemudian berjalan beriringan menuju tempat yang telah ditentukan, biasanya di dekat sumber mata air atau di bawah pohon besar yang dianggap keramat.
Arak-arakan ini dipimpin oleh sesepuh desa dan diiringi dengan tabuhan gamelan sederhana. Anak-anak muda membawa obor, sementara para wanita membawa tumpeng dan hasil bumi lainnya di atas kepala mereka.
4. Sawuran (Tabur Benih)
Ketika sudah sampai di tempat yang ditentukan, sesepuh desa memimpin doa-doa yang merupakan perpaduan antara doa Islam dan mantra Jawa kuno. Setelah itu, dilakukan "sawuran" atau penebaran benih padi dan berbagai jenis biji-bijian lainnya.
5. Kenduri Bersama
Acara diakhiri dengan kenduri atau makan bersama. Semua makanan yang dibawa warga dikumpulkan dan dibagikan kembali secara merata. Tidak ada yang dibeda-bedakan dalam pembagian ini, semua mendapat porsi yang sama.

*Perubahan dan Tantangan*
Seperti halnya tradisi lain, Nyadran Sawuran juga mengalami berbagai perubahan seiring waktu. Dulu, ritual ini berlangsung selama berhari-hari dan melibatkan berbagai kesenian tradisional seperti wayang kulit dan tayuban. Namun kini, karena kesibukan dan tuntutan ekonomi, pelaksanaannya lebih singkat dan sederhana.

*Upaya Pelestarian*
Meski menghadapi berbagai tantangan, beberapa pihak tetap berusaha melestarikan kesenian Nyadran Sawuran. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, misalnya, telah menjadikan tradisi ini sebagai salah satu atraksi budaya yang dipromosikan.

*Nilai-nilai yang Terkandung*
Di balik rangkaian ritual yang mungkin tampak sederhana, Nyadran Sawuran menyimpan berbagai nilai luhur yang masih relevan dengan kehidupan modern saat ini:
1. Nilai Religius
Nyadran Sawuran mengajarkan bahwa manusia harus selalu bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Ritual ini juga mengingatkan bahwa keberhasilan panen bukan semata-mata karena kehebatan manusia, tetapi juga karena rahmat Tuhan.
2. Nilai Sosial
Tradisi ini memperkuat kohesi sosial di antara warga desa. Melalui gotong royong dan makan bersama, ikatan kekeluargaan diperkuat tanpa memandang status sosial.
3. Nilai Ekologis
Nyadran Sawuran mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan alam. Ritual pembersihan desa dan sumber mata air, misalnya, mengingatkan akan pentingnya menjaga lingkungan.
4. Nilai Filosofis
Berbagai simbol dalam Nyadran Sawuran, seperti jenis-jenis makanan dan tahapan ritual, mengandung filosofi mendalam tentang kehidupan manusia, mulai dari kelahiran hingga kematian.

*Penutup*
Kesenian Nyadran Sawuran dari Bojonegoro adalah cerminan dari kearifan lokal masyarakat Jawa yang telah bertahan selama berabad-abad. Meski menghadapi berbagai tantangan modernisasi, esensi dari tradisi ini tetap relevan dengan kondisi saat ini.
Sebagai bangsa yang kaya akan budaya, sudah sepatutnya kita melestarikan warisan seperti Nyadran Sawuran. Bukan sekadar sebagai objek wisata atau hiburan, tetapi sebagai sumber nilai-nilai luhur yang bisa menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline