Lihat ke Halaman Asli

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard

Diperbarui: 19 Februari 2025   01:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PPT Prof. Apollo

PPT Prof. Apollo

Apa yang dimaksud korupsi?

Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara yang melanggar hukum dan merugikan kepentingan publik. Praktik korupsi dapat terjadi di berbagai sektor, baik dalam pemerintahan, bisnis, maupun organisasi non-pemerintah. Bentuk-bentuk korupsi sangat beragam, termasuk suap, penggelapan dana, nepotisme, gratifikasi, serta manipulasi kebijakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga bisa melibatkan jaringan yang lebih luas, seperti kartel bisnis atau sindikat politik yang bekerja sama untuk mempertahankan kekuasaan dan mengamankan kepentingan mereka.

Istilah "korupsi" berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, yang menggambarkan perubahan dari keadaan yang adil, benar, dan jujur menjadi sebaliknya. Kata corruptio sendiri berakar dari bahasa Latin kuno corrumpere, yang memiliki makna seperti membusukkan, merusak, menggoyahkan, menyuap, atau memutarbalikkan sesuatu (Nair, 2006: 281-282). Dari bahasa Latin inilah kemudian muncul istilah corruption dalam bahasa Inggris, corruption dalam bahasa Prancis, serta corruptie/korruptie dalam bahasa Belanda. Secara harfiah, kata "korupsi" mengandung arti kebusukan, kebejatan, ketidakmoralitasan, serta kecenderungan untuk disuap atau menyimpang dari nilai-nilai kesucian. 

Menurut Black Law Dictionary, sebagaimana disebutkan dalam modul Tindak Pidana Korupsi KPK, korupsi merujuk pada tindakan yang dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan prinsip-prinsip kebenaran. Definisi ini mengacu pada tindakan penyalahgunaan kepercayaan atau kewenangan seseorang yang melanggar hukum untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau untuk orang lain. Sejalan dengan definisi ini, Bank Dunia pada tahun 2000 mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik demi kepentingan pribadi. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan atau penyelewengan uang negara, perusahaan, atau organisasi lainnya untuk kepentingan pribadi maupun pihak tertentu. Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah perilaku yang bertentangan dengan hukum, norma, dan etika dengan tujuan memperoleh keuntungan yang tidak sah, baik dalam bentuk uang, barang, jasa, maupun manfaat lainnya. Korupsi sering kali berdampak buruk pada masyarakat karena menghambat pembangunan, merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah, dan meningkatkan ketimpangan sosial. Di sektor ekonomi, korupsi dapat menyebabkan inefisiensi dalam distribusi sumber daya, menghambat investasi, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, di sektor sosial dan politik, korupsi dapat melemahkan institusi demokrasi, menciptakan ketidakadilan, dan mengurangi kualitas pelayanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu, banyak negara memiliki undang-undang serta lembaga khusus untuk memberantas korupsi, seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Indonesia, yang memiliki tugas untuk melakukan pencegahan, penyelidikan, dan penindakan terhadap kasus korupsi.

Robert Klitgaard merupakan seorang ahli antikorupsi yang memiliki pengalaman luas sebagai konsultan dan peneliti di lebih dari 39 negara, termasuk wilayah Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Dengan latar belakang akademis yang kuat serta keterlibatan langsung dalam berbagai isu tata kelola pemerintahan, Klitgaard memberikan kontribusi yang signifikan dalam merumuskan strategi pemberantasan korupsi di berbagai negara dengan sistem politik dan ekonomi yang beragam. Menurutnya, korupsi terjadi ketika seseorang menyalahgunakan jabatan atau kewenangannya demi memperoleh keuntungan pribadi, baik dalam bentuk status, kekuasaan, maupun finansial. Ia menyoroti bahwa praktik korupsi sering terjadi di kalangan pejabat negara yang memiliki akses terhadap sumber daya publik serta kekuasaan dalam pengambilan keputusan, yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dampak dari korupsi tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga dapat merusak sistem hukum, melemahkan prinsip demokrasi, dan menghambat pembangunan sosial serta ekonomi suatu negara. 

Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya korupsi dalam suatu sistem, Klitgaard merumuskan konsep yang dikenal luas dalam kajian antikorupsi, yaitu: Korupsi = Monopoli + Diskresi -- Akuntabilitas. Monopoli dalam konteks ini terjadi ketika individu atau lembaga memiliki kendali penuh atas sumber daya atau proses pengambilan keputusan tanpa adanya pesaing atau alternatif yang dapat memberikan pilihan lain. Ketidakseimbangan kekuasaan ini membuka peluang bagi penyalahgunaan wewenang. Di Indonesia, monopoli sering ditemukan dalam birokrasi, terutama dalam pengelolaan proyek infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, serta penerbitan izin. Beberapa instansi memiliki kewenangan eksklusif untuk menentukan kebijakan atau mengawasi sektor tertentu tanpa pengawasan yang ketat, sehingga memungkinkan pejabat terkait melakukan korupsi seperti suap, nepotisme, atau pengaturan kebijakan demi keuntungan kelompok tertentu. Praktik monopoli yang disertai dengan korupsi dapat berdampak negatif terhadap perekonomian negara, memperlambat investasi, menghambat inovasi, serta menurunkan kualitas layanan publik. Oleh sebab itu, untuk mengurangi risiko korupsi akibat monopoli, diperlukan reformasi birokrasi yang mendorong transparansi, persaingan yang sehat, serta pengawasan yang lebih efektif oleh lembaga independen dan masyarakat. 

Selain monopoli, faktor lain yang mendorong korupsi adalah diskresi yang berlebihan. Diskresi merujuk pada kewenangan yang dimiliki pejabat dalam membuat keputusan berdasarkan kebijakan internal atau pertimbangan pribadi. Meskipun diskresi penting dalam sistem pemerintahan agar kebijakan dapat disesuaikan dengan situasi yang dinamis, keleluasaan ini dapat menjadi celah bagi praktik korupsi jika tidak diimbangi dengan pengawasan dan akuntabilitas yang kuat. Salah satu contoh penyalahgunaan diskresi adalah dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pejabat yang memiliki wewenang luas dalam menentukan pemenang tender dapat dengan mudah mengarahkan proyek kepada pihak tertentu tanpa melalui prosedur yang transparan dan kompetitif, yang dapat berujung pada praktik kolusi, penggelembungan anggaran, serta rendahnya kualitas hasil pekerjaan. Selain itu, diskresi yang tidak terkontrol juga sering terjadi dalam pemberian izin usaha, pengelolaan dana bantuan sosial, dan berbagai proses perizinan lainnya. Untuk mencegah penyalahgunaan ini, diperlukan kebijakan yang menitikberatkan pada transparansi, pengawasan berjenjang, serta sistem audit yang ketat sehingga diskresi tetap dapat dimanfaatkan secara positif tanpa menjadi celah bagi tindakan koruptif. 

Faktor terakhir yang berkontribusi terhadap maraknya korupsi adalah lemahnya akuntabilitas dalam suatu institusi, yang mengindikasikan kurangnya sistem pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap tindakan korupsi. Ketika mekanisme pengawasan tidak berjalan dengan baik, para pelaku korupsi dapat menyalahgunakan wewenangnya tanpa takut akan konsekuensi hukum. Dalam konteks pemerintahan, kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan dan lemahnya kontrol terhadap anggaran negara sering kali menjadi faktor utama yang memperparah kondisi ini. Di Indonesia, lemahnya sistem pengawasan internal dan eksternal menjadi salah satu penyebab utama maraknya korupsi di berbagai sektor. Pengawasan internal yang dilakukan oleh lembaga pemerintah kerap tidak efektif akibat adanya konflik kepentingan dan budaya impunitas. Sementara itu, pengawasan eksternal yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau masyarakat sering kali terkendala oleh keterbatasan akses informasi serta tekanan politik yang menghambat investigasi dan penindakan. Beberapa kasus korupsi besar di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun kejahatan terungkap ke publik, pelakunya sering kali hanya menerima hukuman ringan atau bahkan bebas dari sanksi yang semestinya dijatuhkan. Tidak jarang, pejabat yang telah menjalani hukuman kembali menduduki jabatan strategis atau tetap menikmati hasil korupsi karena lemahnya sistem pemulihan aset negara. Oleh karena itu, untuk menegakkan akuntabilitas secara maksimal dan mengurangi praktik korupsi, diperlukan reformasi hukum yang lebih tegas, penguatan lembaga pengawas, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengawal kebijakan publik.

Mengapa praktik korupsi di Indonesia terus berlangsung?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline