Lihat ke Halaman Asli

Nada perpisahan di Panggung Kekuasaan: Bisikan Kalbu, Air mata, dan Jejak panjang Sri Mulyani

Diperbarui: 7 Oktober 2025   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ada momen-momen di mana politik bukan hanya tentang strategi, kekuasaan, atau wacana --- melainkan juga tentang ruang batin yang tak tampak, tentang nada terdalam yang tak bergema melalui pidato, melainkan lewat isak, lirih, dan kenangan.

Merajut Kesunyian di Antara Huru-hara

Ketika nama Sri Mulyani muncul di tengah pusaran wacana politik dan perombakan kabinet, ia bukan sekadar "fit and proper test" dan "reshuffle." Di balik itu, ada cerita manusiawi --- pergulatan batin, air mata, lagu kenangan --- yang sering tak terlihat oleh publik. Bisikan kalbu ini hendak menyampaikan bahwa kekuasaan tak melulu soal struktur, melainkan soal jiwa yang tetap berharap dan ragu secara bersamaan.

Air Mata, Lagu, dan Bahasa Kalbu

Terdengarlah bait-bait puisi dan lagu yang dihadirkan sebagai gambaran bahwa dalam setiap pemimpin, ada pribadi yang menyimpan luka, rindu, dan keraguan. Kata-kata seperti:

"Kudengar bahasa kalbumu
Mengalun bening menggetarkan"

menjadi jembatan bagi publik untuk merasakan, sejenak, bahwa di kursi tinggi pun ada ruang untuk menangis dan meratap --- bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai pengakuan manusiawi atas perjalanan dan pengorbanan.

Perpisahan dalam Irama Kekuasaan

Perpisahan Sri Mulyani bukan hanya soal kursi yang berganti tangan, tetapi juga soal "tangga birokrasi" --- langkah-langkah berliku dalam struktur pemerintahan, konflik kepentingan, dan gelombang suara politik. Dalam warna kebijakan dan kekuasaan, perpisahan menjadi sakral: sekaligus penutup dan pembuka bab baru. Dalam bahasa batin, perpisahan tidak hanya meredupkan tetapi juga membangkitkan harapan akan metamorfosis kepemimpinan.

Kuasa, Narasi, dan Publik

Pembicaraan publik tentang menteri keuangan ini kerap dipenuhi dengan angka, data, dan legitimasi politik. Namun, ketika kita menyelami ruang batin tersebut, kita diingatkan bahwa di balik kebijakan fiskal, APBN, dan wacana ekonomi, ada narasi manusia: kerisauan, kecemasan tentang perubahan, dan hasrat untuk tetap dipercaya. Kekuasaan bukan monolog; ia adalah dialog antara figur negara dan hati rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline