Lihat ke Halaman Asli

Muhammad MS

Bloger, Pemerhati Sosial

Joget di Atas Penderitaan Rakyat

Diperbarui: 22 Agustus 2025   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Joget diatas penderitaan rakyat: ilustrasi by AI generated 

Joget di Atas Penderitaan Rakyat

Mereka berjoget. Di ruang ber-AC, kursi empuk, dan mikrofon berlapis debu sidang menjadi saksi. Irama itu bukan datang dari musik rakyat, melainkan dari pengumuman kenaikan gaji mereka sendiri.

Di luar gedung, rakyat berdesakan di pasar, menghitung recehan demi membeli sebungkus cabai. Di desa-desa, petani menatap sawahnya yang retak, buruh menatap pabrik dengan cemas. Tetapi di dalam gedung itu, mereka yang katanya wakil, menari bagai lupa bahwa mereka berdiri di atas tanah yang kian retak oleh penderitaan.

Sejarah negeri ini berulang kali menulis ironi: kekuasaan yang menjauh dari rakyat akan selalu melahirkan jurang. Dan jurang itu, cepat atau lambat, akan menelan siapa saja yang menertawakan penderitaan di seberangnya.

Mereka lupa, mungkin dengan sengaja, bahwa gaji yang mereka rayakan berasal dari keringat yang sama: pajak pedagang kecil, pungutan nelayan yang letih, dan tetes keringat buruh yang tak pernah mengenal joget selain gerakan tubuh di bawah mesin pabrik.

Joget itu kelak akan dicatat, bukan sebagai tarian kegembiraan, melainkan sebagai tari topeng---topeng yang menutupi wajah asli dari mereka yang lebih sibuk menjaga perut sendiri ketimbang mendengar jeritan rakyat.

Malam di negeri ini pun menjadi saksi bisu. Di warung kopi, orang-orang kecil masih menghitung recehan. Di kamar kos pengap, mahasiswa menatap buku dengan perut kosong. Di jalan-jalan, tukang becak, sopir angkot, dan pedagang asongan terus bertarung melawan harga yang tak lagi ramah.

Tak ada yang lebih berbahaya bagi sebuah negeri selain ketika para wakil kehilangan rasa malu. Dari situlah lahir jurang: antara kata dan perbuatan, antara janji dan kenyataan. Jurang itu tak bisa diisi dengan joget, dengan tawa, dengan alasan. Ia hanya bisa diisi dengan kesetiaan---kesetiaan pada suara orang banyak.

Namun, bila kesetiaan itu telah pudar, rakyatlah yang akan menjadi hakim. Hakim yang sabarnya panjang, tapi ingatannya jauh lebih panjang. Mereka mungkin tak turun hari ini, tak berteriak di depan gedung megah itu. Tetapi ketika waktunya tiba, suara mereka di bilik pemilu akan menjadi palu yang lebih keras daripada teriakan di jalan.

Dan bila suatu hari nanti catatan sejarah dibuka, joget itu akan dikenang---bukan sebagai tanda kegembiraan, melainkan sebagai peringatan. Bahwa di atas penderitaan, tak ada tarian yang pantas dilakukan, kecuali tarian penebusan.

Jakarta, Jelang demo 25 Agustus 2025

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline