Lihat ke Halaman Asli

Muh Khamdan

TERVERIFIKASI

Researcher / Analis Kebijakan Publik

Budaya Ngemil Indonesia, Menikmati Tanpa Merusak Tubuh

Diperbarui: 21 Mei 2025   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi ngemil (Sumber: merdeka.com)

Mengemil atau snacking bukan lagi sekadar aktivitas sela waktu makan. Bagi masyarakat Indonesia, ngemil sudah menjadi gaya hidup yang melekat dalam keseharian. Data terbaru dari survei State of Snacking 2024 oleh Mondelez mengungkap fakta menarik, bahwa masyarakat Indonesia rata-rata ngemil tiga kali sehari, sementara makan utama hanya dua kali. Fenomena ini menunjukkan pergeseran besar dalam struktur pola makan bangsa ini, yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Kebiasaan ngemil ini bukan hanya soal kebutuhan fisik, tetapi juga sarat dengan makna sosial dan psikologis. Mengemil menjadi momen relaksasi, penghilang stres, bahkan ritual kecil untuk menyayangi diri sendiri. Ada nilai budaya di balik sepotong kue lapis, seplastik keripik, atau secangkir kopi yang ditemani biskuit.

Namun, sebagaimana dua sisi mata uang, aktivitas ngemil juga menyimpan potensi risiko yang perlu kita waspadai bersama. Ketika frekuensi ngemil lebih dominan daripada makan utama, maka pertanyaannya bukan lagi "apa yang kita makan" tetapi "bagaimana kita hidup". Terlebih lagi, jika camilan yang dikonsumsi tinggi gula, garam, dan lemak jenuh, maka kebiasaan ini bisa menjadi bom waktu bagi kesehatan masyarakat.

Berdasarkan riset kesehatan global, konsumsi berlebihan makanan tinggi gula dan garam berkorelasi langsung dengan meningkatnya risiko penyakit tidak menular seperti stroke, jantung koroner, kanker, dan gagal ginjal. Di Indonesia sendiri, tren penyakit degeneratif ini semakin mengkhawatirkan. Maka, saatnya kita bicara soal ngemil bijak, bukan sekadar tren. Akan tetapi, ngemil bijak menjadi bagian dari gerakan nasional melawan obesitas dan kelebihan zat adiktif makanan.

Mengapa ngemil begitu digemari? Jawabannya ada pada sisi emosional. Ngemil memberi jeda dari tekanan hidup dan pekerjaan. Ada kenyamanan psikologis yang didapat dari memakan sesuatu yang renyah, manis, atau gurih. Inilah yang ditemukan dalam survei Mondelez, bahwa camilan tidak hanya bersifat fungsional tetapi juga emosional. Maka pendekatannya harus menyentuh aspek psikologis dan budaya, tidak semata-mata medis.

Dalam banyak budaya kuliner dunia, ngemil punya peran penting dalam struktur sosial. Di Jepang, ocha no jikan menjadi waktu minum teh dan menikmati wagashi sebagai bentuk kontemplasi. Di Turki, waktu kopi selalu disertai lokum atau manisan. Di Indonesia, budaya ngemil juga tak kalah berwarna, dari pasar kue tradisional sampai tren boba dan cemilan kekinian. Namun, bagaimana kita mengelola makna itu agar tidak berbalik merusak tubuh?

Di sinilah pentingnya nutritional literacy, literasi gizi yang harus ditanamkan sejak dini. Kita perlu memahami bahwa tidak semua camilan itu buruk, tetapi pilihan yang tidak tepatlah yang menjadi masalah. Camilan sehat seperti buah potong, kacang tanpa garam, yoghurt rendah lemak, atau smoothies tanpa gula tambahan bisa menjadi alternatif ngemil cerdas.

Gerakan ngemil bijak juga bisa menjadi pintu masuk strategi kesehatan nasional. Kampanye publik yang menyasar anak-anak sekolah, ibu rumah tangga, dan pekerja kantoran perlu dirancang secara kreatif, tidak menggurui tetapi menginspirasi. Edukasi yang dikemas dalam bentuk visual, media sosial, dan program komunitas bisa memperkuat pemahaman ini.

Pemerintah dan pelaku industri pangan harus bergandengan tangan. Produsen camilan perlu diminta secara etis dan regulatif untuk mengurangi kadar gula, garam, dan lemak jenuh dalam produk mereka. Transparansi label gizi dan promosi camilan sehat harus didorong sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan.

Dalam kerangka antropologi kuliner, kita juga perlu menghargai kearifan lokal yang selama ini menyuguhkan camilan sehat secara alami. Kacang rebus, ubi kukus, klepon, atau tempe goreng tanpa MSG, semuanya adalah bagian dari warisan kuliner yang lebih sehat dibanding jajanan ultra-proses modern. Kembali ke akar tradisi adalah langkah progresif dalam konteks ini.

Namun, kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah atau industri. Masyarakat perlu berdaya memilih. Keluarga sebagai unit terkecil harus mulai membangun budaya ngemil sehat, termasuk membatasi pemberian makanan manis atau asin pada anak-anak. Pengenalan rasa alami dan pembentukan selera sejak dini menjadi investasi jangka panjang dalam menciptakan generasi sehat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline