Pada 6 Januari 2025, sejarah global mencatat peristiwa monumental. Indonesia resmi bergabung sebagai anggota penuh blok BRICS bersama Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Mesir, Iran, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab. Blok ini bukan sekadar akronim, melainkan konfigurasi geopolitik baru yang mencakup lebih dari 3 miliar jiwa atau hampir setengah populasi dunia, dengan total PDB kolektif yang menyaingi dominasi ekonomi Barat.
Keanggotaan Indonesia di BRICS bukanlah langkah biasa. Ia mencerminkan reposisi strategis dalam lanskap global yang tengah berubah, terutama di tengah perang tarif berkepanjangan yang dilancarkan Amerika Serikat terhadap banyak negara. Dalam suasana global yang sarat ketegangan dan proteksionisme, BRICS muncul sebagai alternatif yang menjanjikan. Sebuah blok ekonomi Selatan yang menuntut keadilan dalam arsitektur global.
Secara historis, konfigurasi Selatan ini mengingatkan kita pada momentum Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955. Kala itu, negara-negara muda dari Asia dan Afrika bersatu dalam semangat solidaritas melawan kolonialisme. Dasasila Bandung, yang lahir dari konferensi itu, menjadi dasar moral dan politik dalam menuntut kedaulatan, perdamaian, dan keadilan ekonomi global.
Ironisnya kini, lebih dari tujuh dekade kemudian, tantangan yang dihadapi tidak jauh berbeda. Dominasi segelintir negara besar dalam pengambilan keputusan global, ketimpangan perdagangan, dan hegemoni mata uang tertentu dalam sistem pembayaran internasional masih menghantui banyak negara berkembang. BRICS menjadi kendaraan untuk menuntut reformasi struktural terhadap ketidakadilan ini.
Indonesia di BRICS bukan sekadar anggota baru, tapi penjaga api lama---Dasasila Bandung---yang siap menerangi dunia dengan semangat kerja sama, bukan dominasi; dengan harmoni ekonomi, bukan kompetisi membabi buta antar negara Selatan.
Namun di balik peluang, BRICS menyimpan potensi konflik internal yang tidak dapat diabaikan. Kesamaan struktur ekonomi antaranggotanya justru menyuburkan persaingan. Indonesia, Brasil, India, dan Afrika Selatan adalah sama-sama produsen komoditas strategis seperti batubara, minyak, dan hasil pertanian. Tanpa mekanisme kooperatif yang kuat, BRICS bisa terjebak dalam dinamika "teman tapi saingan."
Di sinilah letak urgensi pendekatan peacebuilding dalam teori hubungan internasional. Dalam paradigma ini, perdamaian bukan hanya ketiadaan konflik, melainkan kehadiran sistem kerja sama yang adil dan berkelanjutan. Indonesia dapat memainkan peran sebagai arsitek bina damai ekonomi antaranggota BRICS, dengan pendekatan historis dan moral Dasasila Bandung sebagai fondasinya.
Dasasila Bandung, yang terdiri dari sepuluh prinsip universal tentang penghormatan terhadap kedaulatan, non-agresi, dan kerja sama yang setara, relevan kembali dalam mengatur relasi antarnegara BRICS. Prinsip-prinsip tersebut dapat diterjemahkan dalam praktik ekonomi melalui pembentukan pasar bersama Selatan yang adil dan transparan.
Dalam konteks generasi Z global, nilai-nilai Dasasila Bandung perlu dihidupkan kembali dalam bahasa yang lebih kontekstual. Misalnya, konsep "tidak melakukan intervensi dalam urusan dalam negeri negara lain" dapat ditafsirkan sebagai penolakan terhadap eksploitasi ekonomi antarsesama negara berkembang melalui sistem perdagangan yang timpang.
Lebih dari itu, prinsip "menghormati hak dan kewajiban hukum internasional" menjadi dasar penting dalam mendorong pembentukan sistem keuangan alternatif dari dolar AS yang selama ini menjadi alat dominasi ekonomi Barat. BRICS sudah mulai menjajaki sistem pembayaran berbasis mata uang lokal dan aset digital, sebuah langkah revolusioner.
Indonesia memiliki kredibilitas historis dan posisi geografis strategis sebagai jembatan antara Asia dan Pasifik. Dengan pengalaman sebagai inisiator KAA, Indonesia dapat mengusulkan BRICS Economic Peace Charter yang mengatur etika kerja sama ekonomi: tanpa pemaksaan, tanpa eksploitasi, dan berorientasi pada keadilan sosial.