Lihat ke Halaman Asli

Muhammad syarif

kata adalah senjata

Kritis Haram di Kampus Pabrik

Diperbarui: 18 September 2021   19:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

kamis pagi, dengan semangat api kami berkumpul di parkiran kampus dengan seragam almamater,  bukan untuk observasi melainkan untuk berdiri di jalanan dengan teriakan tolak PTN BH, namun sebelum itu saat kami ingin memobilisasi massa, ketua BEM kami di panggil oleh pimpinan kampus dengan memberikan beberapa pertimbangan. kata ketua BEM setelah turun dari ruangan pimpinan, WD 3 mengatakan bahwa turun saja dengan jangka waktu 2 jam  dan tiba - tiba Dekan datang dengan mengatakan  "  jika masi ingin dilihat sebagai anak di kampus jangan turun, dan ketika kamu turun dialog besok kami batalkan. " 

sebenarnya bahasa yang di lontarkan oleh pimpinan kampus itu seolah olah untuk melindungi serta mengiming-imingi untuk menerima segala bentuk dialog yang akan kami laksanakan, dengan tujuan untuk memperlembut suara-suara kritikan anak anaknya untuk tidak melakukan demo,  padahal menjadi bapak yang baik mengajarkan tentang keberanian untuk mengenal filosofi hidup, ketika kita dikandang dalam rumah dibujuk untuk tidak turun kejalan, ya otomatis kami menjadi generasi yang tunduk dan menerima bentuk penindasan.  

perlu kita ketahui bahwa bapakisme kemudian tumbuh dalam sel birokrasi dalam upaya untuk mencari rasa aman, sekaligus sopan santun,  jadi perbapakan ini akan terus berlaku di dunia kampus untuk menjadikan kritis itu haram karena beranggapan bahwa kita melawan bapak, tidak ada sopan santun kepada bapak, dan harus tunduk dan patuh kepada bapak, yang di maksud dengan bapak adalah Dosen ketua jurusan, Dekan, Rektor, padahal mereka semua hanyalah fungsi Administrasi saja. 

berbagai bendera telah berkibar di depan kampus, serta riakan kami untuk menolak  kampus sebagai wahana pabrik kapitalisme dengan niat birokrat untuk menjadikan kampus sebagai penyandang PTN BH, dalam analisis sendiri bahwa dengan bergulirnya kebijakan otonomi akan ada penggalangan dana secara mandiri. 

Kebijakan ini akan menjadikan kegiatan pendidikan tinggi sebagai arena bisnis yang menghasilkan uang. sebab hampir sebagian besar dosen lebih terkuras waktu dan perhatiannya untuk kegiatan pengajaran, karena kegiatan ini dapat menolong mereka dari himpitan penerimaan gaji pegawai negeri yang kecil. Kegiatan penelitian yang serius hanya dilakukan oleh sebagian kecil dosen yang berminat, atau yang memiliki jaringan ke sumber-sumber dana penelitian. 

Namun sebagian besar dari penelitian tersebut adalah penelitian yang berorientasi proyek, artinya penelitian yang menghasilkan uang secara instan dan bukan penelitian yang menghasilkan karya akademik yang berbobot. Maka tidak mengherankan kalau terjadi infertilitas pemikiran-pemikiran besar dan involusi intelektual. 

Budaya akademik, yang seharusnya menjadi penopang utama kegiatan di perguruan tinggi, seolah telah hilang ditelan oleh realitas gegap gempitanya upaya pemberdayaan ekonomi dari para sivitas akademikanya. Menjadi dosen yang menghasilkan karya-karya berbobot, dengan pengorbanan waktu dan menjauhkan diri dari materi, Weber menamainya asketisme, tidak banyak diminati. 

Mereka lebih tertarik pada kegiatan mengajar dan meneliti yang cepat menghasilkan uang, atau, bila memiliki jaringan "sosial-politik" yang memadai, menjadi pejabat-pejabat kampus seperti rektor, dekan, kepala-kepala pusat atau pembantu-pembantunya.

Fungsi ideal pendidikan tinggi telah tereduksi ke dalam fungsi ekonomi dan politik. Harus diakui bahwa praktek pelaksanaan pendidikan tinggi dimanapun bersifat multi dimensional, yaitu bisa berdimensi sosial, budaya, politik, ekonomi, dan lain-lain. 

Namun secara prinsip fungsi pendidikan, penelitian dan kemanfaatan sosial merupakan hal-hal yang harus diutamakan. Kenyataannya pendidikan tinggi bukan lagi sebagai arena untuk mewujudkan doktrin Tri Dharma, tetapi lebih merupakan wilayah perebutan kekuasaan ekonomi dan politik bagi pihak- pihak yang berkepentingan. 

Para stakeholders tersebut meliputi negara, pasar dan para sivitas akademika-nya yang saling berebut sumber daya di perguruan tinggi tersebut. Hilangnya semangat utama pendidikan tinggi dalam kenyataan sehari- hari merupakan tragedi kebudayaan yang dapat mengancam eksistensi masyarakat Indonesia dalam percaturan internasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline