Novelia - Sajadah di Padang Rumput Cinta
Karya: Muhalbir
Bab 1: Pagi dan Rerumputan Basah
Embun masih melekat di ujung-ujung daun rumput. Langit biru pucat, sementara cahaya mentari baru saja mengintip malu-malu di ufuk timur. Alam terasa hening, hanya suara burung kecil yang riang berkejaran di udara.
Di hamparan rumput itu, dua sosok duduk berdampingan. Sebuah sajadah tipis terhampar, sudah basah sebagian karena embun. Lelaki itu mengusap tangannya ke rambut, lalu menatap langit.
"Kau sadar?" katanya tiba-tiba.
"Apa?" tanya gadis di sampingnya, menoleh.
"Shalat di sini rasanya lebih indah daripada di masjid besar. Atapnya langit, lampunya matahari, murottalnya burung-burung."
Gadis itu terkekeh. "Indah sih, tapi jangan-jangan nanti rumputnya protes. Dipakai terus jadi sajadah."
Lelaki itu pura-pura serius. "Kalau rumput bisa protes, mungkin dia bilang begini: tolong sering-seringlah sujud di atas kami, agar kami ikut bertasbih bersama kalian."
Gadis itu menutup mulutnya, tertawa. "Aih, bisa saja. Pantesan rumputnya empuk, mungkin sudah luluh sama kata-katamu."
Bab 2: Sajadah Alam dan Canda
Usai berdoa, mereka rebah ke rumput, memandang langit biru yang makin cerah. Lelaki itu menaruh tangan di belakang kepala.
"Aku heran," katanya.
"Heran apa lagi?"
"Kenapa rumput ini bisa lebih empuk daripada kasur kosku?"
Gadis itu langsung tergelak. "Ya jelas, karena kosmu lebih mirip gudang daripada kamar. Rumput ini sudah diberi parfum alami: embun."
"Wah, berarti aku harus pindah kos ke padang rumput ya?" Lelaki itu berpura-pura serius.
"Silakan saja," jawab gadis itu, "tapi jangan salahkan kalau ada kambing yang tiba-tiba tidur di sebelahmu."
Mereka tertawa bersamaan.
Bab 3: Tentang Doa yang Naik
Setelah lama hening, lelaki itu bicara dengan nada serius.
"Kau tahu? Aku merasa doa kita di sini lebih cepat sampai ke langit."
"Kenapa bisa begitu?" Gadis itu bertanya sambil memainkan ujung rumput.
"Karena tak ada atap, tak ada dinding. Seperti bicara langsung dengan Allah. Rasanya dekat sekali."
Gadis itu menunduk. Air matanya menetes tanpa sadar.
"Kau menangis?" Lelaki itu panik.
"Bukan... hanya merasa kecil. Kadang aku terlalu sibuk meminta hal besar, padahal doa sederhana pun sudah membuat hati lapang."
Lelaki itu menatapnya lama, lalu tersenyum. "Kecil, tapi imut."
Segenggam rumput melayang ke wajahnya. "Dasar!"
Bab 4: Tawa di Padang Bunga Liar
Mereka berjalan menyusuri padang, menemukan bunga liar kecil berwarna putih. Gadis itu memetik satu, lalu menyelipkannya di jari.
"Kalau aku marah," katanya, "bawakan bunga ini saja."
"Kenapa?" Lelaki itu mengernyit.
"Karena bunga liar tak butuh banyak perawatan. Hatiku juga begitu, cukup dengan hal kecil asal dari hatimu."
Lelaki itu terdiam, lalu berkata pelan, "Kalau begitu jangan marah sering-sering. Aku bisa kehabisan bunga."
"Aku hanya marah kalau kau berbohong."
Lelaki itu mengangkat tangan, pura-pura bersumpah. "Demi embun pagi, aku takkan berbohong. Kalau aku bohong, aku rela tidur semalaman di padang rumput ini, tanpa bantal, ditemani kambing tetangga."
Gadis itu tertawa sampai perutnya sakit.
Bab 5: Pertanyaan yang Membuat Grogi
Di bawah pohon besar, lelaki itu tiba-tiba serius.
"Kalau suatu hari aku benar-benar melamarmu, apa jawabanmu?"
Gadis itu terdiam. Lama ia menunduk, memainkan jilbabnya.
Akhirnya ia berkata lirih, "Kalau doa kita sama, langit sudah lebih dulu menjawabnya."
Lelaki itu menelan ludah. Wajahnya merah. "Aku... aku tak sanggup menahan senyum."
"Ya sudah, jangan senyum sendiri. Nanti kupikir kau kesurupan rumput."
Mereka tertawa, menutupi rasa haru.
Bab 6: Senja dan Kejujuran
Cahaya senja membuat padang rumput berwarna keemasan. Burung-burung terbang pulang.
"Kau tahu," ujar lelaki itu, "yang paling indah hari ini bukan langit, bukan embun, tapi shalat kita di atas rumput ini."
Gadis itu menutup wajah, tersipu. "Kenapa kau selalu membuat aku salah tingkah?"
"Karena kalau aku diam saja, kau bosan. Jadi aku harus jadi badut suci di hatimu."
"Badut suci?!" Gadis itu tertawa sampai menepuk tanah.
Bab 7: Bintang dan Janji
Malam turun. Bintang berkelip. Mereka berbaring, menatap langit.
"Bintang itu jauh," kata gadis, "tapi sinarnya tetap sampai ke bumi. Seperti doa, meski kita berjauhan, tetap bertemu."
Lelaki itu menghela napas. "Aku takut kehilanganmu."
"Bodoh. Aku bicara tentang rindu, bukan perpisahan."
Lelaki itu tersenyum lega. "Syukurlah. Kalau perpisahan, aku tak sanggup."
Bab 8: Sajadah Sejati
"Baru kusadari," kata lelaki itu pelan, "sajadah tak selalu kain. Bisa rumput, tanah, apa saja. Yang penting hati ikhlas."
"Cinta juga begitu," jawab gadis, "tak perlu kemewahan, cukup ketulusan."
Mata lelaki itu berkilat. "Maukah kau terus bersujud bersamaku, di mana pun sajadah kita terbentang?"
Gadis itu terdiam, lalu mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Aku mau."
Bab 9: Doa yang Menggenapkan
Malam itu, doa mereka terbang ke langit. Rumput jadi saksi, bintang jadi penerang. Mereka meminta yang sama: semoga dipertemukan dalam ikatan halal, semoga tawa dan canda tak pernah hilang, semoga sajadah di padang rumput ini menjadi saksi cinta mereka yang sederhana namun suci.
Dan doa itu kelak benar-benar menemukan jawabannya.
Bab 10: Kilas Balik di Bawah Pohon
Mereka duduk di bawah pohon besar, menatap senja yang mulai turun. Lelaki itu tiba-tiba teringat sesuatu.
"Kau tahu, pertama kali aku melihatmu?" tanyanya.
Gadis itu mengerling. "Di kampus, kan?"
"Ya. Waktu itu aku hampir jatuh dari motor karena salah lihat. Aku kira ada bidadari nyasar ke bumi."
Gadis itu menepuk dahinya. "Ya Allah, bisa-bisanya gombal diiringi kecelakaan."
"Tapi itu nyata," lelaki itu bersikeras. "Sejak hari itu, aku doa terus. Kalau memang kamu jodohku, semoga Allah kasih jalan. Kalau bukan, semoga Allah jauhkan dengan cara yang indah."
Gadis itu menunduk. Senyumnya malu-malu, tapi matanya berkaca. "Dan ternyata kita malah duduk di sini, di atas rumput, berdoa bersama."
"Ya," lelaki itu mengangguk, "seperti doa yang menemukan jalannya."