Lihat ke Halaman Asli

Mira Miew

TERVERIFIKASI

ASN di Purwakarta yang jatuh hati dengan dunia kepenulisan dan jalan-jalan

Jeda yang Bermakna, Memeluk Diri Lebih Utuh

Diperbarui: 20 Mei 2025   10:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyepi di Hutan Kota. Foto: Dokumentasi Pribadi

Jum’at, 15 Mei 2025

Tetiba diri seperti merengek ingin diajak menyepi setelah hingar bingar waktu yang tergerus karena padatnya kegiatan dan pikiran yang tak tentu arah bahkan diluar batas nalar. Kondisi fisik yang belum baik-baik saja bahkan Dokter pun memberi surat istirahat seakan tak mampu membendung untuk pergi menyepi.

Mendadak membeli tiket kereta dan mendadak pula memesan tempat penginapan yang harganya murah karena promo. Pengeluaran tak terduga ini seakan tak ada artinya ketika mengetahui ada yang lebih berarti lagi, mencari jeda untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang hidup yang bermakna dan untuk menyembuhkan mental serta psikis yang sedang tidak baik-baik saja.

Penyakit Mental

Tidak semua orang ternyata memahami penyakit tersebut. Terutama bagi mereka yang memiliki hidup yang sempurna dan tidak pernah mengalami ujian hidup yang berat. Seseorang terlihat sama bagi mereka tanpa mengetahui betapa tidak mudahnya kehidupan yang dijalani dan usaha yang dilakukan untuk menjaga kewarasan mereka.

Sering kali penyakit mental disepelekan dan bagi yang bermental lemah sering kali dijadikan bahan candaan dan menjadi sumber yang layak ditertawakan.

Baperan, gampang emosi, bersikap dan membuat keputusan diluar nalar dan gampang menangis, dimata orang lain seakan menjadi kekurangan dan kesalahan fatal yang harus diperbaiki oleh orang tersebut. Padahal emosi-emosi itu hadir dari pengalaman hidup yang didapatkannya; ditinggalkan, diabaikan, dikecewakan berkali-kali, kekerasan verbal maupun fisik, bahkan kehilangan sosok-sosok yang disayanginya yang berimbas sering kali mental mereka terganggu.

Penyakit mental bisa hadir kepada mereka yang begitu lama memiliki kekosongan akan rasa cinta dan kasih sayang. Tidak ada "rumah" untuk mereka pulang dan berbagi kecuali kepada dirinya sendiri. Keresahan, suka dan duka dijalani sendiri. Segala macam emosi diluapkan dan dirasakan sendiri.

Mereka harus selalu berusaha tetap kuat dan masih punya keinginan untuk tetap hidup.

Padahal selain psikolog, beribadah yang taat serta aktivitas-aktivitas positif yang dijalani, mereka butuh support dari lingkungan terdekatnya bahkan sering kali butuh rangkulan walau hanya untuk meluapkan tangisan emosi mereka. Mereka tidak membutuhkan cercaan, bullyan dari kekurangan dan masalah hidup yang sedang dijalaninya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline