Saya masih ingat ketika di era 2015--2019, saya bergabung dalam sebuah komunitas bisnis yang memiliki misi mulia: menembus pasar halal Eropa melalui ekspor produk-produk halal dari Indonesia.
Semangat kami membuncah, apalagi Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.
Namun semangat itu diuji ketika para buyer dari Eropa menyatakan keraguan mereka terhadap label halal dari Indonesia. Mereka lebih percaya label halal dari Malaysia.
Pihak Malaysia bersedia memberikan sertifikasi, tapi dengan satu syarat: produk kami harus diberi label "Made in Malaysia".
Saya menolak. Bukan karena tidak ingin menembus pasar Eropa, tapi karena saya terlalu cinta pada negeri ini. Saya ingin dunia mengenal bahwa produk halal berkualitas juga bisa lahir dari Indonesia.
Pengalaman tersebut membuka mata saya akan satu hal penting: menjadi pusat halal dunia bukan hanya mimpi indah karena mayoritas penduduk Indonesia Muslim, tetapi perjuangan panjang yang membutuhkan integritas dan ekosistem halal yang menyeluruh.
Belajar dari Jepang dan Thailand
Jepang, meski bukan negara mayoritas Muslim, menunjukkan bagaimana UMKM bisa berkembang melalui kolaborasi strategis. Mereka membentuk kemitraan erat antara UMKM dan perusahaan besar, serta mengintegrasikan UMKM ke dalam ekosistem pariwisata nasional.
Setiap turis asing yang datang ke Jepang diarahkan untuk mengunjungi sentra UMKM lokal. Produk-produk oleh-oleh kuliner dari Jepang dikemas sangat menarik dan elegan. Namun, satu tantangan mereka adalah produk halal yang belum sepenuhnya terjamin. Ini menjadi peluang sekaligus pelajaran bagi Indonesia.
Thailand mengambil langkah lebih maju. Dengan menyadari potensi besar dari wisatawan Muslim dunia, mereka meluncurkan inisiatif "Kitchen of Halal", menjadikan Thailand sebagai pusat kuliner halal global. Pemerintah mereka mewajibkan sertifikasi halal, mengawasi proses produksi, dan mengintegrasikan prinsip halal ke dalam standar industri makanan.
Saya pernah menyaksikan langsung pabrik penyembelihan ayam modern milik CP di Thailand. Ayam-ayam ditreatment dengan baik, dan penyembelihan dilakukan secara otomatis dengan doa yang dilantunkan oleh petugas Muslim melalui speaker---menunjukkan betapa serius dan menyeluruhnya penerapan prinsip halal.
Halal Itu Menyeluruh, Bukan Sekadar Label
Konsep halal dalam Islam bukan hanya soal tidak mengandung zat haram, tidak kedaluwarsa, atau bersih secara fisik. Halal adalah konsep thayyiban---baik, bersih, dan penuh integritas---yang meliputi:
- Sumber modal dan pembiayaan halal: Modal usaha harus berasal dari sumber yang bersih, bukan hasil riba, judi, atau transaksi haram lainnya. Pinjaman sebaiknya melalui lembaga keuangan syariah, bukan bank konvensional berbunga.
- Niat dan akad: Transaksi harus dilakukan dengan niat yang benar dan akad yang sah menurut syariah. Tidak boleh ada penipuan, manipulasi, atau ketidakjelasan (gharar).
- Proses produksi: Mulai dari bahan baku, alat, tenaga kerja, hingga kebersihan fasilitas, semua harus sesuai dengan standar halal dan higienis.
- Distribusi dan logistik: Produk halal tidak boleh tercampur dengan produk haram dalam penyimpanan maupun distribusi. Traceability harus jelas.
- Kemasan dan labelisasi: Label halal harus dikeluarkan oleh lembaga yang kredibel dan diakui dunia internasional, bukan sekadar formalitas.
- Integritas spiritual pelaku usaha: Halal bukan hanya urusan regulasi, tapi juga hubungan vertikal antara pelaku UMKM dengan Allah SWT.