Di tengah masih riuhnya suasana Lebaran, sebuah kabar tak kalah menggetarkan datang dari pasar keuangan. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat resmi menembus angka psikologis Rp17.000 per dolar.
Angka ini bukan sekadar angka, melainkan sinyal serius tentang kondisi ekonomi global dan domestik yang sedang tidak baik-baik saja.
Ironisnya, saat negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia mulai menunjukkan langkah konkret dan menyampaikan pernyataan resmi untuk meredam gejolak pasar, pemerintah Indonesia justru tampak sunyi senyap.
Tidak ada pernyataan keras dari otoritas fiskal maupun moneter. Tidak ada sinyal intervensi. Tidak ada narasi yang dapat menenangkan publik.
Padahal, ini bukan waktu yang tepat untuk diam.
Pukulan Ganda: Dolar Naik, Minyak Anjlok
Pelemahan rupiah tidak berdiri sendiri. Dunia tengah dilanda gejolak ekonomi yang berasal dari tiga arah sekaligus:
- Tarif Presiden AS Donald Trump terhadap barang-barang impor dari berbagai negara, termasuk China.
- Tarif balasan dari China terhadap produk AS yang memperkeruh ketegangan perdagangan.
- Keputusan OPEC+ untuk tetap menahan produksi justru tidak direspons pasar seperti yang diharapkan, sehingga harga minyak mentah (WTI dan Brent) justru terus menurun.
Per awal April 2025, harga minyak Brent turun ke bawah USD 80 per barel, dari sebelumnya bertahan di kisaran USD 86--88. Bahkan West Texas Intermediate (WTI) sempat menyentuh level di bawah USD 75 per barel. Penurunan ini terjadi dalam waktu relatif singkat, membuat pasar energi global terguncang.
Meskipun ini bisa menguntungkan dari sisi biaya impor energi, bagi Indonesia justru menjadi ironi. Sebagai negara produsen dan konsumen minyak, penurunan harga minyak berarti berkurangnya penerimaan negara dari sektor migas dan tekanan tambahan terhadap nilai tukar rupiah.
Pasar Saham Terancam Anjlok
Setelah libur panjang Lebaran, bursa saham Indonesia (IHSG) bersiap menghadapi gelombang tekanan:
- Investor asing kemungkinan akan menarik dananya lebih lanjut.
- Sektor-sektor sensitif seperti energi, keuangan, dan properti diprediksi terdampak langsung.
- Minimnya sinyal dari pemerintah bisa memperburuk sentimen pasar.
Ketidakpastian global ditambah ketidakhadiran narasi penenang dari otoritas berisiko memicu koreksi tajam pada hari-hari awal perdagangan pasca-liburan.
Mengapa Pemerintah Harus Bicara?