Lihat ke Halaman Asli

Marsah Julista

Mahasiswa Hukum Universitas Jambi

Korupsi Mengakar Jadi Budaya

Diperbarui: 12 Oktober 2025   19:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ilustrasi Pejabat Korup menghitung uang suap (Sumber:Freepik/Pinterest))

Bayangkan setiap kali membuka berita pagi, kita tak lagi kaget melihat pejabat negara terseret kasus korupsi. Seolah-olah sudah jadi rutinitas harian. Berganti nama, berganti jabatan, tapi pola yang sama terus berulang. Publik lelah, tapi juga terbiasa. Inilah titik paling berbahaya dalam sejarah moral bangsa. Saat korupsi tidak lagi dianggap kejahatan luar biasa, melainkan bagian dari kebiasaan birokrasi.

Beberapa bulan terakhir, publik kembali dikejutkan oleh kasus-kasus besar yang mengguncang negeri. Mulai dari korupsi pengadaan laptop Chromebook senilai Rp 9,9 triliun di Kemendikbudristek, hingga skandal tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina pada  informasi terbaru kerugian negara mencapai Rp 285 triliun. Belum lagi korupsi tata niaga timah yang menyeret banyak pihak dengan kerugian mencapai Rp 300 triliun. Angka-angka ini tidak hanya menggambarkan besarnya uang yang raib, tapi juga menunjukkan bahwa korupsi sudah merasuki jantung ekonomi dan kebijakan negara.

Kasus-kasus tersebut sebenarnya bukan hal baru. Setiap kali ada penetapan tersangka, masyarakat berharap keadilan ditegakkan. Namun dalam praktiknya, proses hukum sering kali berhenti di tengah jalan atau berlarut-larut tanpa kejelasan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa penegakan hukum di Indonesia masih sulit menembus lingkaran kekuasaan?

Bukan rahasia lagi bahwa hukum di negeri ini kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Banyak pejabat tinggi yang tersandung kasus korupsi masih bisa “tersenyum di balik jeruji”, bahkan kadang kembali ke panggung politik setelah masa hukuman selesai. Hal ini membuat efek jera nyaris tidak ada. Korupsi akhirnya bukan lagi tindakan yang memalukan, tetapi “risiko jabatan” yang bisa dinegosiasikan.

Ironisnya, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2024 masih rendah meskipun meningkat dari tahun sebelumnya yakni 37 dari skala 100, menempatkan Indonesia di peringkat 99  dunia dari 180 negara (Transparency International, 2024). Angka itu menggambarkan realitas pahit, meski lembaga penegak hukum gencar bekerja, kepercayaan publik terhadap efektivitas pemberantasan korupsi justru menurun.

(Ilustrasi pejabat memegang kantong uang dibelakang punggungnya (Sumber: Freepik/Pinterest)

Akar korupsi di Indonesia tidak hanya pada lemahnya hukum, tetapi pada budaya toleran yang sudah mengakar. Istilah “uang rokok”, “jatah proyek”, hingga “fee 10%” dianggap wajar dalam dunia birokrasi dan bisnis. Orang yang menolak malah dianggap aneh, tidak fleksibel, bahkan bisa dikucilkan.

Kita sering lupa, korupsi bukan hanya tindakan besar yang dilakukan pejabat tinggi. Ia juga tumbuh dari tindakan kecil yang kita biarkan, menyuap untuk meloloskan urusan administrasi, memanipulasi laporan kegiatan, hingga memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi. Dari hal-hal kecil itulah korupsi menjadi kebiasaan yang diwariskan.

Lebih mengkhawatirkan lagi, generasi muda mulai terbiasa melihat keteladanan yang salah. Banyak anak muda yang berpikir, untuk sukses di negeri ini, harus punya orang dalam atau pandai main aman. Ketika nilai-nilai kejujuran tidak lagi dianggap penting, maka kita sedang menyiapkan generasi baru yang mewarisi mentalitas lama generasi yang cerdas secara intelektual, tapi tumpul secara moral.

Pemberantasan korupsi tidak akan berhasil jika hanya bergantung pada lembaga hukum. Penindakan memang penting, tapi pencegahan dan pendidikan moral jauh lebih mendasar. KPK sebenarnya telah menggagas program pendidikan antikorupsi (PAK) di lebih dari 26 ribu sekolah dan perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Namun, program itu belum cukup kuat jika hanya berhenti pada tataran teori tanpa keteladanan nyata dari para pemimpin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline