Lihat ke Halaman Asli

Mahdhyna

cewe suka matcha

"Bukit Bromo Suku Tenggger"

Diperbarui: 8 Juni 2025   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Suasana Pagi di Desa Ngadas) (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2025)

Sore itu tanggal 22 Maret 2025 aku membersamai kawanku untuk melakukan wawancara ke masyarakat di perbukitan Bromo guna menunjang penyelesaian studi tesis s2 nya. Kami dari Malang kota pukul 09.00 WIB tiba disana pukul 11.00 WIB lalu kami mulai keliling dan berakhir di rumah Pak Tri. Beliau merupakan sosok tokoh agama di daerah Bromo yang sangat disegani oleh orang-orang sekitar karena konon leluhur Pak Tri merupakan pembawa agama Islam di Desa Ngadas ini. Kentalnya hawa budaya nenek moyang masih sangat terasa. Perbedaan agama dan budaya yang bersandingan tanpa percampuran sungguh indah untuk dilihat. Bukan hal yang langka disana dalam satu keluarga ada berbagai macam agama. Mulai dari Hindu, Budha, dan Islam. Masuknya agama Islam dengan membawa kedamaian membuat banyak warga lokal tertarik dengan agama ini. Walaupun beberapa dari mereka mulai memeluk agama Islam namun hakikatnya sebagai anak cucu suku Tengger tidak ditinggalkan sedemikian rupa. Tokoh adat yang berperan sebagai tetua yang diyakini sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan Dewata mengambil peran penting untuk selalu menyelaraskan antara agama dan adat istiadat setempat yang tidak boleh ditinggalkan barang sekecil apapun itu. Perayaan-perayaan adat sebagai komunikasi kepada Dewata memiliki banyak sekali sebutan dan rangkaian acara yang bermacam sepanjang tahunnya. Tokoh adat yang disebut  dengan mbah dukun setiap masanya dilakukan pembaharuan ke anak cucu melalui pengangkatan di Gunung Bromo. Konon mereka yang berhati bersih dan iklaslah yang berhasil membaca mantra di Gunung Bromo yang akan dilantik menjadi tokoh adat di desa tersebut. Beberapa calon yang tidak lulus tes adalah mereka yang tidak mampu membaca mantra, konon yang seperti itu di hatinya ada niat lain yang tidak disukai oleh Dewata.

Dinginnya hawa di Desa Ngadas ini membuatku tidak kunjung bisa memejamkan mata.  Malam di saat kami berbuka puasa di masjid ditemani hujan rintik yang mulai menerpa dinginnya kulit disertai angin malam yang makin lama terasa makin kencang, pipi ini sudah merah dibuatnya, telapak tangan dan kaki sudah kebas dan kisut, belum lagi hidung yang terus saja ingin bersin karena hawanya yang memang terlalu kuat untuk diriku yang tidak terbiasa dengan dingin ini. Sepulang dari masjid menuju rumah bu kades, kami jalan kaki dengan bermodalkan payung dan nekat menerjang hujan angin yang tidak ada habisnya itu. Payung yang kami bawa juga tidak kalah hebat berjuang untuk tidak terbalik terbawa angin. Berakhir dengan malam itu kami menginap di rumah bu kades karena cuaca yang tidak memungkinkan untuk kami dihantarkan ke penginapan yang letaknya lebih jauh lagi. Dinginnya hawa di Desa Ngadas ini membuatku tidak kunjung bisa memejamkan mata. Namun dari hawa yang ekstrim inilah sayur mayur tumbuh dengan begitu subur dan para petani yang merupakan mayoritas pekerjaan di desa ini menjadi makmur. Kadang kala memang di setiap kelebihan akan terselip kekurangan dan sebaliknya tergantung dari sudut mana kita mau melihat kelebihan itu berada.

Hari berlalu kami lalui dengan berbagai macam aktivitas untuk memenuhi tujuan awal kami ke desa ini. Kami berkunjung dari rumah tokoh agama yang satu ke tokoh agama yang lainnya. Dimulai dari tokoh agama Islam, Hindu, dan Budha. Banyak hal yang bisa kami petik dari fenomena yang sangat selaras dengan Bhineka Tunggal Ika. Tentunya perbedaan agama yang mencolok ini tidak menjadi suatu penghambat dalam mereka melakukan kegiatan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing. Mayoritas dari mereka adalah petani yang memiliki perkebunan sayur. Lahan yang luas membuat mereka tentunya saling membantu untuk kegiatan tanam dan panen menjadi suatu penguat sikap sosial di desa tersebut. Tokoh adat yang mengajarkan mengenai banyaknya perayaan-perayaan budaya yang harus dilakukan di setiap bulannya oleh seluruh rakyat di Desa Ngadas ikut menjadi faktor utama yang kuat menjadikan masyarakat bersatu rukun dalam kontrasnya perbedaan. Disana aku belajar banyak hal mengenai kehidupan. Kadang kala disaat kita merasa seorang diri tanpa kita sadari sapaan hangat, senyuman tulus, dan ucapan "hati-hati di jalan yo nduk", dari orang asing yang tidak kita kenal adalah sesuatu yang mahal dan terasa menghangatkan hati. Benar-benar pepatah yang mengatakan "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung" merupakan suatu petuah yang harus kita genggam dimanapun kita berada. Melembutkan hati dengan melihat banyak kebaikan yang timbul dari orang asing di luar sana menjadi bukti konkrit bahwa kebaikan itu tercipta tidak hanya ditunggu. Di desa ini kedamaian di antara agama yang majemuk pantas untuk dijadikan pedoman, bahwa kunci dari kedamaian adalah adat yang tidak dicampur dengan agama jikalaupun dicampur maka salah satunya akan pincang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline