Semester tujuh sering disebut sebagai babak senja dalam perjalanan kuliah masa di mana semangat mulai menipis, tapi tanggung jawab justru menumpuk. Di titik ini, banyak mahasiswa yang mulai mempertanyakan arah hidupnya: apakah kuliah ini benar-benar jalan yang tepat, atau hanya langkah yang harus diselesaikan demi sebuah gelar? Di tengah keraguan itu, muncul kisah-kisah kecil yang tak tertulis di lembar skripsi, tapi justru paling berharga: kisah tentang bertahan dalam diam.
Bagi Sapna Welindah Nainggolan, mahasiswa semester tujuh di Universitas Katolik Santo Thomas, hari-hari terasa seperti perjalanan panjang tanpa jeda. Pagi ia habiskan di kelas atau mengurus tugas magang, siang berjuang mengejar dosen pembimbing, dan malamnya menulis di Kompasiana Arena bukan untuk mencari sorotan, tapi sebagai cara untuk menenangkan diri dari tekanan yang kadang sulit dijelaskan.
Dunia perkuliahan ternyata tidak seindah brosur kampus. Di balik senyum di foto-foto promosi, ada malam-malam panjang tanpa tidur, ada rasa cemas setiap kali hasil revisi dikembalikan penuh coretan merah. Namun bagi Sapna, itu semua bukan tanda kegagalan. Itu bukti bahwa ia masih melangkah, masih berjuang, masih berani bertahan meski langkahnya terasa berat.
Kompasiana Arena kemudian menjadi ruang aman tempatnya bercerita, tempat menaruh segala keresahan yang tak bisa diucapkan. Dari sana, ia belajar bahwa setiap tulisan adalah bentuk keberanian. Setiap paragraf adalah doa yang terselip dalam diam. Ia menulis bukan untuk menjadi hebat, tapi agar tetap waras di tengah tuntutan yang terus datang tanpa henti.
Meniti Tantangan di Titik Jenuh Perkuliahan
Semester tujuh adalah masa yang membuat banyak mahasiswa merasa seperti berjalan di persimpangan. Begitu pula Sapna. Ia mulai merasa lelah, tapi belum siap berhenti. Di satu sisi, idealisme masih menyala ingin berkarya, ingin berprestasi namun di sisi lain, realitas bicara lain: skripsi menunggu, laporan magang belum rampung, dan jadwal kampus sering kali bertabrakan dengan urusan pribadi yang tak kalah penting.
Ada hari ketika Sapna harus memilih antara menyelesaikan revisi atau mengikuti kegiatan lomba menulis yang ia sukai. Uang hadiah dari lomba sering menjadi sumber penghasilan kecil yang ia kelola dengan cermat sebab belum punya pendapatan tetap. Namun di balik itu, ada rasa tanggung jawab besar untuk tidak menyerah meski serba terbatas.
Teman-temannya mulai berbicara tentang wisuda dan masa depan, sementara Sapna masih sibuk mengumpulkan data dan menata naskah skripsinya yang belum tuntas. Ia sempat merasa tertinggal, tapi kemudian sadar: setiap orang punya waktunya masing-masing. Hidup bukan perlombaan; setiap langkah punya makna tersendiri.
Di saat rasa lelah datang, Sapna sering mengingat ibunya sosok yang selalu percaya pada setiap usahanya. Ibunya adalah nasabah Prudential, dan menginspirasi Sapna untuk mulai belajar investasi jangka panjang. Namun, karena belum punya penghasilan tetap, ia memilih untuk memulai dari yang kecil belajar lewat aplikasi saham seperti Stockbit, membaca tentang price earning (PE) dan value per share, mencoba memahami logika uang yang tumbuh seiring waktu.
Keterbatasan finansial tak membuatnya berhenti bermimpi. Ia tahu, suatu saat nanti ia ingin benar-benar berinvestasi di Prudential seperti ibunya. Tapi untuk saat ini, perjuangannya masih di ruang kelas, di layar laptop, dan di setiap tulisan yang ia bagikan kepada dunia.
Sapna percaya, setiap kerja keras yang dilakukan dengan hati tidak akan sia-sia. Mungkin hasilnya belum terlihat sekarang, tapi benih yang ia tanam hari ini akan tumbuh di waktu yang tepat. Dalam diamnya, ia sedang menyiapkan masa depan yang lebih matang pelan, tapi pasti.