Membangun Kekuatan dari Keterbatasan
Lambat laun, Sapna mulai memahami bahwa hidup bukan tentang menunggu keadaan menjadi ideal, tapi tentang belajar menari di tengah badai. Ia berhenti membandingkan diri, lalu mulai menikmati proses yang dijalani. Setiap rintangan, setiap revisi, bahkan setiap komentar pedas dari dosen, menjadi bahan bakar untuk bertumbuh.
Ia terus menulis tentang perjuangan, tentang teman-teman yang juga berjuang, tentang realita mahasiswa yang sering kali tak seindah cerita motivasi. Dari setiap tulisan, ia menemukan sisi lain dari kekuatan: kejujuran. Ia belajar bahwa keberanian untuk jujur terhadap diri sendiri jauh lebih penting daripada sekadar terlihat baik di mata orang lain.
Kompasiana menjadi saksi pertumbuhan itu. Dari tempat sederhana di Medan, ia menulis kisah yang dibaca banyak orang dari berbagai daerah. Ada pembaca yang berkomentar, ada yang mengirim pesan pribadi, sekadar berkata, "Tulisanmu menyemangati aku." Kalimat kecil itu cukup untuk membuat Sapna menangis haru tanda bahwa perjuangannya tidak sia-sia.
Ia juga mulai menata waktu dengan lebih disiplin. Di dinding kamarnya, tertempel kertas berisi daftar tugas, target skripsi, dan jadwal menulis. Setiap kali satu target tercapai, ia memberi tanda centang besar. Simbol sederhana itu mengingatkannya bahwa ia sedang menang melawan rasa malas dan keputusasaan.
Dukungan keluarga selalu menjadi sumber kekuatan terbesar. Ibunya sering mengirim pesan pendek: "Ibu percaya kamu bisa, Nak." Kata-kata itu tak pernah gagal membuat hatinya hangat. Bagi Sapna, doa ibunya adalah bahan bakar yang membuatnya terus melangkah meski jalan terasa terjal.
Ia sadar, mungkin ia tak akan jadi penulis terkenal atau investor besar dalam waktu dekat. Tapi selama tulisannya bisa menguatkan satu hati saja, itu sudah cukup. Ia sedang menanam makna bahwa bertahan juga adalah bentuk kemenangan.
Kini, di semester tujuh yang sunyi namun penuh arti, Sapna Welindah Nainggolan mengerti satu hal penting: hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai garis akhir, tapi siapa yang berani tetap berjalan meski langkahnya perlahan. Ia mungkin masih dalam perjalanan, tapi kini ia melangkah dengan hati yang lebih tenang. Sebab dari segala keterbatasan, ia telah menemukan kekuatannya sendiri: bertumbuh tanpa kehilangan arah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI