Kopi Inspirasi, Dari Tradisi Keluarga ke Cangkir Penyuka Kopi
Dahulu, ketika saya masih kecil dan tinggal di kampung, saya sering melihat ibu menyiapkan bubuk kopi buatannya sendiri. Ayah biasanya membeli biji kopi dari engkoh penjual kopi di pasar. Jumlahnya tidak banyak, hanya sekitar satu kilogram. Di rumah, ibu akan menyangrai biji kopi itu bersama jahe kering dan sedikit beras. Perbandingannya sederhana: satu kilogram kopi ditambah beras satu cangkir kecil seng enamel. Entah mengapa ibu mencampurnya dengan beras, sampai sekarang saya masih belum tahu alasan di balik kebiasaannya itu.
Semua proses dilakukan secara manual. Kopi disangrai menggunakan wajan tanah liat di atas anglo berbahan bakar arang. Biasanya yang mengoseng adalah kakak perempuan saya, sementara saya kebagian tugas menumbuk dan mengayak. Harum kopi yang baru disangrai selalu memenuhi dapur, aroma yang sampai sekarang masih melekat kuat dalam ingatan.
Ya, saya lahir dari keluarga penyuka kopi. Sejak kakek masih ada, aroma kopi sudah menjadi bagian dari kehidupan kami. Hampir semua saudara kami yang laki-laki, paman, ayah, kakak, adik, bahkan saudara-saudara sepupu saya adalah penikmat kopi sejati. Namun menariknya, tidak semuanya perokok.
Di rumah kami, kopi bukan pelengkap rokok, melainkan bagian dari tradisi dan kebersamaan. Cara menikmatinya pun berbeda dengan kebiasaan orang kota. Kopi disajikan tanpa gula, namun selalu ditemani potongan gula merah seukuran ibu jari. Jika ingin sedikit manis, kami tidak melarutkannya ke dalam cangkir, melainkan menggigit sepotong gula merah itu lebih dulu, lalu meneguk kopi panas yang pekat dan harum. Rasanya luar biasa, paduan pahit, manis, dan hangat yang tak mudah dilupakan.
Kebiasaan sejak kecil itulah yang membuat lidah dan perut saya terbiasa dengan kopi rumahan, kopi hitam tanpa gula. Bukan kopi instan. Pernah saya mencoba berbagai macam merek kopi sachet lokal, sekadar ingin menyesuaikan diri dengan zaman. Tapi sulit menemukan yang cocok di lidah. Beberapa merek terkenal seperti Kapal Api atau kopi tubruk Gajah pernah saya coba, saya cocok dan rasanya pun enak, namun tetap terasa berbeda dari kopi buatan rumah.
Suatu ketika, saya sempat berhenti minum kopi, karena mengalami gangguan lambung (GERD). Dokter memberi pantangan, termasuk larangan minum kopi untuk sementara waktu. Setelah kondisi membaik, saya mulai mencoba kembali dengan kopi jenis dark roast, cold brew, atau kopi decaf karena memiliki kafein lebih rendah, atau bisa juga kopi susu sachet, berharap lebih ringan di lambung. Namun hasilnya tetap sama, hampir semua membuat perut terasa tidak nyaman.
Akhirnya, saya kembali pada tradisi keluarga membuat kopi rumahan bikinan sendiri. Bedanya, kini prosesnya tidak lagi sepenuhnya manual seperti dulu. Saya mulai menyangrai dan menggiling kopi sendiri dengan bantuan mesin, namun tetap mempertahankan cita rasa alami tanpa campuran apa pun: tanpa beras, tanpa jahe, tanpa tambahan bahan lain.
Anehnya, kopi buatan sendiri ini justru terasa lebih bersahabat di lambung. Tidak ada rasa perih atau mual, perut tetap terasa nyaman. Dari situ saya tambah yakin, tubuh saya memang sudah sangat cocok dengan kopi murni yang diolah secara alami, tanpa bahan tambahan.
Seiring berjalannya waktu, kebiasaan itu berkembang menjadi kegiatan yang lebih serius. Hasil panen kopi yang semula langsung dijual dalam bentuk ceri, mulai saya olah sendiri menjadi biji kopi siap sangrai. Bersama anak laki-laki saya, kami mencoba berbagai cara dan metode penyangraian untuk mendapatkan cita rasa yang khas dan beragam. Kami juga menyiapkan kemasan sederhana namun menarik, lalu membagikannya kepada teman-teman untuk dicicipi.
Beberapa dari mereka mulai menyukai rasanya, bahkan membeli untuk konsumsi pribadi atau menjadi oleh-oleh mudik lebaran. Dari situlah muncul gagasan untuk meningkatkan kualitas produksi bubuk kopi buatan saya dengan membuat legalitas produksi. Lalu saya memberinya merek Kopi Inspirasi: kopi buatan penyuka kopi, untuk para penyuka kopi. Kopi Inspirasi, Kopinya Penyuka Kopi.