Lihat ke Halaman Asli

luthfi mutaali

pembelajar/dosen/peneliti/konsultan

MUDIK LEBARAN, sebagai stimulus EKONOMI LOKAL

Diperbarui: 29 Maret 2025   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ihttps://images.app.goo.gl/ewBhXPcqa1DJbfd87 (Sumber: kompasiana.com)

Setiap tahun, jutaan orang berbondong-bondong pulang kampung saat Lebaran, menciptakan gelombang ekonomi terbesar di Indonesia. Tahun 2024, Kementerian Perhubungan mencatat 123 juta orang melakukan perjalanan mudik---angka yang setara dengan 45% total populasi Indonesia (Kemenhub, 2024). Fenomena ini bukan sekadar tradisi budaya, melainkan mesin ekonomi raksasa yang memompa uang segar ke daerah-daerah. Bank Indonesia memperkirakan total perputaran uang selama mudik mencapai Rp150 triliun (BI, 2024), angka yang bahkan melebihi anggaran belanja Kementerian PUPR tahun ini. Namun, pertanyaan kritisnya: seberapa besar dampak jangka pendek ini benar-benar menggerakkan ekonomi lokal, atau hanya sekadar euforia sesaat yang lenyap bersama habisnya liburan?

Di Yogyakarta, misalnya, omzet pedagang bakpia melonjak 300% selama Ramadan (Kompas, 2024). Di pasar-pasar tradisional di Sumatera Barat, transaksi harian meningkat rata-rata 150% (BPS, 2024). Data-data ini sering kali dikutip sebagai bukti keberhasilan mudik dalam mendongkrak ekonomi daerah. Namun, studi LPEM UI (2023) mengungkap fakta yang kurang disorot: 70% dari aliran dana mudik digunakan untuk konsumsi langsung---belanja makanan, oleh-oleh, atau transportasi---dan hanya 15% yang diinvestasikan kembali dalam bentuk modal usaha. Artinya, meski nominalnya besar, dampaknya bersifat sementara. Dalam dua minggu pasca-Lebaran, aktivitas ekonomi di banyak daerah kembali ke level normal, bahkan cenderung lesu.

Kondisi ini diperparah oleh minimnya infrastruktur pendukung. Di sebuah Desa di Jawa Timur, misalnya, para perantau yang pulang membawa uang dalam jumlah besar justru kesulitan menyalurkannya ke sektor produktif karena akses perbankan yang terbatas. "Banyak yang akhirnya membelanjakan uangnya untuk barang-barang konsumtif seperti elektronik atau motor, bukan untuk mengembangkan usaha di desa," ungkap Ahmad Yani, pengurus koperasi setempat ( April 2024). Padahal, penelitian Tadjuddin (2022) menunjukkan bahwa desa-desa dengan akses ke lembaga keuangan mikro memiliki tingkat investasi ulang remitansi 30% lebih tinggi dibandingkan yang tidak.

Lalu, bagaimana memastikan gelombang dana mudik tidak sekadar menguap? Pertama, pemerintah perlu menggeser paradigma dari melihat mudik sebagai "event" tahunan menjadi "platform" pembangunan daerah. Program seperti "Mudik Produktif" bisa dirancang dengan memberikan insentif fiskal bagi perantau yang berinvestasi di kampung halaman. Misalnya, pemotongan pajak bagi mereka yang menanamkan modal di UMKM lokal atau koperasi desa. Skema ini sudah berhasil diuji coba di Kabupaten Banyuwangi, di mana pemda bekerja sama dengan bank setempat menawarkan bunga khusus untuk tabungan mudik yang dialokasikan sebagai modal usaha (Jurnal Ekonomi Desa, 2023).

Kedua, perlu ada intervensi untuk memperkuat kapasitas ekonomi lokal menyambut gelombang mudik. Selama ini, banyak daerah hanya menjadi "penonton" dalam pesta ekonomi ini. Padahal, dengan sedikit inovasi, momentum bisa dikapitalisasi. Contohnya, Pemerintah Kabupaten Garut tahun ini meluncurkan program sambut Lebaran", di mana mereka memetakan potensi ekonomi tiap desa dan memfasilitasi pemudik untuk terlibat langsung---mulai dari membeli produk lokal hingga berinvestasi dalam bentuk kemitraan usaha (Kompas, 2024). Hasilnya, omzet UMKM di wilayah tersebut tidak hanya naik selama Lebaran, tetapi juga stabil pasca-lebaran berkat jaringan pemasaran yang sudah terbangun.

Ketiga, penting untuk memperkuat peran teknologi finansial dalam mendistribusikan manfaat ekonomi mudik. Data OJK (2024) menunjukkan bahwa 60% pemudik kini membawa uang secara digital, membuka peluang besar untuk mengalirkan dana ini ke sektor produktif. Aplikasi seperti "LinkAja" atau "DANA" bisa diintegrasikan dengan program pembangunan desa, misalnya dengan membuat fitur "Investasi Kampung" yang memungkinkan pemudik menyumbang atau meminjamkan modal langsung ke usaha mikro di daerah asal mereka.

Tanpa intervensi kebijakan yang terstruktur, potensi besar mudik sebagai stimulus ekonomi lokal akan terus terbuang percuma. Seperti dikemukakan oleh ekonom Faisal Basri (2023), "Mudik adalah pasar raksasa yang tidak dikelola---kita hanya menikmati letupannya, tetapi tidak pernah menangkap ledakannya." Sudah waktunya pemerintah tidak hanya fokus mengatur arus mudik, tetapi juga memastikan aliran dananya memberikan dampak berkelanjutan bagi perekonomian daerah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline