Sejarah Semarang bukan hanya tentang kota pelabuhan yang sibuk. Lebih dari itu, kota ini juga menyimpan kenangan sebagai simpul penting dalam jaringan kekuasaan internasional, mulai dari kolonialisme Belanda hingga pendudukan Jepang.
Dalam rentang waktu lebih dari tiga abad itu, Semarang telah menjadi saksi soal bagaimana kekuatan global menjalin, memutus, dan menyambung ulang hubungan kekuasaan di Nusantara.
Dari masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) hingga kedatangan Dai Nippon, Semarang memainkan peran strategis dalam sejarah kolonialisme yang tidak bisa diabaikan.
Ketika VOC mendirikan loji dagang di Semarang pada akhir abad ke-17, kota ini perlahan berubah dari semacam pelabuhan kecil menjadi pusat administrasi dan militer kolonial di pantai utara Jawa.
Semarang menjadi salah satu dari sedikit kota yang diberi status gemeente (kotamadya) oleh pemerintah kolonial. Status itu adalah penanda betapa pentingnya posisi kota ini dalam struktur kekuasaan Belanda.
Menurut sejara(h)wan, M. C. Ricklefs (2008), penguasaan atas Semarang adalah bagian dari strategi VOC untuk mengontrol jalur perdagangan rempah-rempah dan membendung kekuatan lokal, seperti Kesultanan Mataram.
Di bawah VOC, Semarang dapat dikatakan tidak hanya dikembangkan sebagai pusat ekonomi, tetapi juga sebagai titik koordinasi militer dan administratif. Fort Prins van Oranje—benteng besar yang dahulu berdiri di jantung kota—menjadi simbol kekuatan kolonial Belanda.
Kanal-kanal dibangun, jalan diperluas, dan gudang-gudang rempah menjamur. Inilah fase awal ketika Semarang mulai menjalankan fungsi geopolitik: menjadi simpul dalam jaringan logistik dan kekuasaan Eropa di Asia Tenggara.
Pendudukan Jepang
Namun sejarah memang tidak selalu berjalan satu arah. Ketika kekuasaan kolonial Belanda melemah akibat Perang Dunia II, Semarang—seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia—menjadi rebutan kekuatan global yang baru: Kekaisaran Jepang.