Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Benalu di Pohon Teh Milik PTPN VIII: Ketika Warga Hanya Menyeduh

10 Oktober 2025   04:31 Diperbarui: 10 Oktober 2025   16:11 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebun teh milik PTPN VIII di Jalancagak, Subang. (Sumber: Dokumen Pribadi)

Di daerah saya, Subang bagian selatan, teh bukan sekadar minuman: ia sudah menjadi bagian dari napas keseharian. Hampir di setiap rumah, selalu ada teko berisi air teh hangat di atas meja, siap diseruput kapan saja. 

Teh menemani obrolan pagi, sarapan, hingga tamu yang datang sore hari. Di dapur mana pun, suara air mendidih dan aroma teh yang perlahan keluar dari teko sudah seperti bahasa sendiri: bahasa keramahan orang kampung yang sederhana.

Namun, ada sesuatu yang ganjil bila dipikir-pikir. Teh yang kami minum itu bukan dari kebun yang tumbuh di sekitar kami. Padahal, dari Jalancagak ke timur Kasomalang, ke barat Purwakarta, hingga ke selatan Ciater dan kaki Tangkuban Perahu, terbentang luas kebun teh sejauh mata memandang. Hamparan hijau yang indah dipotong jalan berliku dan kabut pagi. Tapi tak sehelai pun daun teh itu milik warga.

Kebun teh milik PTPN VIII disepanjang jalan daerah Jalancagak, Subang. (Sumber: Dokumen Pribadi)
Kebun teh milik PTPN VIII disepanjang jalan daerah Jalancagak, Subang. (Sumber: Dokumen Pribadi)

Saya pernah mengunjungi pabrik tehnya di Ciater. Di sana, saya ditunjukkan bagaimana daun teh dipetik, digulung, dikeringkan, lalu diolah hingga menjadi teh siap saji. Semua tampak rapi dan modern. Tapi begitu saya keluar dari pabrik, saya menyadari sesuatu: warga sekitar hanya menjadi pemetik, bukan pengolah. Mereka tidak tahu cara meracik teh hijau, teh hitam, atau teh melati. Bahkan tidak ada satu pun warga yang menanam pohon teh di pekarangan rumah, sebagaimana mereka menanam kopi atau cengkeh.

Itu karena semua kebun teh di sana milik PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII), perusahaan negara yang mengelola lahan perkebunan sejak masa kolonial. Struktur semacam itu membuat warga hanya menjadi tenaga kerja, bukan pelaku utama. Mereka tahu cara memetik daun muda yang lembut, tapi tidak tahu apa yang terjadi setelah daun-daun itu dimasukkan ke karung.

Meski hidup di tengah kebun teh, kami justru minum teh dari pabrik lain. Di pasar, teh yang paling dikenal adalah teh cap Poci teh murah yang dijual dalam bungkus sederhana. Warnanya pekat, aromanya tajam, dan diseduh tanpa penyaring. Kadang, ketika diminum, serpihan daun tehnya ikut tertelan. Tapi di situlah nikmatnya: teh bukan soal kemasan, melainkan kebersamaan.

Teh cap Poci adalah teh orang pinggir gunung. Diseduh dengan air panas dari ceret, dituangkan ke teko enamel, lalu diminum sambil berbincang di beranda. Sementara teh celup Sosro dengan kemasan rapi dan gaya praktisnya biasanya milik orang kota, atau mereka yang ingin serba cepat. Dua-duanya sama-sama teh, tapi rasanya membawa dunia yang berbeda. Yang satu lahir dari kebiasaan menunggu, yang lain dari kebiasaan terburu-buru.

Ironisnya, di wilayah yang dikelilingi kebun teh, tak satu pun rumah warga menyajikan teh hasil olahan sendiri. Semua datang dari luar. Teh menjadi komoditas industri, bukan budaya lokal. Tapi justru di celah-celah itulah warga menemukan sesuatu yang lebih milik mereka: benalu teh.

Benalu ini tumbuh liar di batang atau ranting pohon teh. Di pabrik, ia dianggap pengganggu, tapi bagi warga dan banyak orang di luar sana benalu teh justru sangat dicari. Harganya bisa tinggi karena dipercaya memiliki khasiat bagi kesehatan, terutama untuk membantu menurunkan kadar gula darah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun