Fenomena: Antara Niat Baik dan Reaksi Cepat
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai dijalankan pemerintah sejak awal 2025 hadir dengan tujuan mulia: memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang layak di sekolah.
Namun, niat baik itu justru memicu gelombang reaksi beragam di masyarakat. Video makanan berbelatung di beberapa daerah, keluhan pungutan wadah makan, hingga kritik soal menu "tidak bergizi" membuat tagar #MakanBergiziGratis mendadak viral dan menjadi bahan debat nasional.
Dalam hitungan jam, publik bereaksi --- menilai, menyalahkan, dan menghakimi --- bahkan sebelum klarifikasi resmi muncul.
Fenomena ini menarik dibaca bukan hanya dari sisi kebijakan, tapi juga dari psikologi sosial: bagaimana pikiran, emosi, dan perilaku masyarakat terbentuk oleh situasi sosial serta pengaruh orang lain.
 1. Teori Atribusi: Naluri Mencari "Siapa yang Salah"
Menurut Teori Atribusi (Weiner, 1995), manusia cenderung ingin tahu penyebab di balik peristiwa --- dan biasanya yang dicari adalah siapa yang harus disalahkan.
Ketika muncul kasus makanan berbelatung, publik spontan menuding pihak sekolah, penyedia katering, bahkan pemerintah pusat.
Inilah yang disebut fundamental attribution error --- kesalahan umum ketika kita menilai individu tanpa mempertimbangkan situasi yang lebih besar, seperti keterbatasan anggaran, logistik, atau kondisi lapangan.Â
Dengan kata lain, masyarakat sering lebih cepat menilai "siapa" daripada memahami "mengapa."
2. Elaboration Likelihood Model, antara Viral dan Rasional