Yogyakarta -- Kasus pengadaan laptop di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi baru-baru ini menjadi sorotan publik. Nama Mendikbudristek Nadiem Makarim terseret dan bahkan sempat ditetapkan sebagai tersangka, namun perkembangan praperadilan menunjukkan fakta menarik: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak menemukan indikasi kerugian keuangan negara dalam proyek pengadaan laptop tersebut. Penetapan tersangka Nadiem pun dipersoalkan karena dilakukan sebelum ada hasil audit resmi BPKP yang memastikan adanya kerugian negara; pada saat status tersangka disematkan, BPKP ternyata belum menerbitkan hasil audit kerugian negara secara resmi (actual loss). Kondisi ini menegaskan satu hal penting: penyataan kerugian negara dari auditor resmi merupakan syarat formil yang tak boleh diabaikan. Tanpa hasil audit BPK atau BPKP yang menyatakan kerugian negara, upaya aparat penegak hukum (APH) menjerat pelaku korupsi rentan gugur secara prosedural karena tidak memenuhi unsur formil tindak pidana korupsi sesuai undang-undang. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jelas menekankan pentingnya unsur kerugian keuangan negara dalam konstruksi hukum korupsi di Indonesia, sehingga hasil audit BPK atau BPKP menjadi landasan legal yang sahih bagi APH untuk melangkah.
Paradigma ini sudah berulang kali terbukti dalam berbagai skandal korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hasil audit investigatif lembaga seperti BPK dan BPKP kerap menjadi penentu jalannya penegakan hukum. Contoh nyata pertama dapat dilihat dari skandal PT Asuransi Jiwasraya. Kasus manipulasi investasi oleh petinggi Jiwasraya mengakibatkan gagal bayarnya polis ribuan nasabah. BPK turun melakukan audit investigatif dan menemukan kerugian negara sebesar Rp16,81 triliun. Angka fantastis ini menjadi dasar tuntutan hukum terhadap para pelaku. Beberapa mantan petinggi Jiwasraya dan rekanan investor nakal diadili; bahkan tokoh utama seperti Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat divonis penjara seumur hidup atas perannya dalam korupsi tersebut. Tanpa perhitungan kerugian negara yang jelas dari BPK, mustahil proses hukum kasus Jiwasraya dapat berjalan solid hingga vonis dijatuhkan. Hasil audit BPK memberikan legitimasi formal bagi jaksa dalam membuktikan unsur pasal korupsi di pengadilan bahwa telah terjadi kerugian nyata pada keuangan negara.
Kasus serupa menimpa PT Asabri, perusahaan asuransi milik TNI-Polri. Modusnya pun berupa penyelewengan investasi saham dan reksa dana oleh oknum manajemen, mirip dengan Jiwasraya. Namun skala kerugian Asabri lebih dahsyat. Audit investigatif BPK mengungkap kerugian negara mencapai Rp22,78 triliun akibat korupsi di Asabri. Angka ini sempat lebih tinggi dalam perkiraan awal, namun dikonfirmasi secara final oleh BPK pada Mei 2021. Dengan temuan tersebut, Kejaksaan Agung bergerak menjerat para tersangka, termasuk salah satu yang juga terlibat di kasus Jiwasraya. Reaksi hukum pun sangat tegas: Heru Hidayat, salah satu pelaku utama, dituntut hukuman mati dalam persidangan kasus Asabri. Tuntutan ekstrem ini mencerminkan betapa seriusnya dampak korupsi Asabri terhadap keuangan negara. Lagi-lagi, tanpa adanya penegasan kerugian negara dari BPK, langkah hukum seperti tuntutan hukuman mati tak akan memiliki pijakan kuat. Pernyataan resmi BPK-lah yang memberi landasan formil bagi jaksa untuk mengeklaim bahwa perbuatan para tersangka telah memenuhi unsur merugikan keuangan negara dalam jumlah kolosal, sehingga layak diganjar hukuman terberat.
Beranjak ke sektor transportasi, maskapai plat merah Garuda Indonesia juga pernah tersandung kasus korupsi yang terkuak berkat audit negara. Skandal ini berkaitan dengan pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 yang dilakukan manajemen lama Garuda. Penyidik menemukan proses pengadaan pesawat tersebut sarat suap dan maladministrasi, yang membuat biaya membengkak jauh di atas kewajaran. Hasil audit BPKP mengestimasikan kerugian negara mencapai Rp8,8 triliun akibat korupsi pengadaan pesawat di Garuda. Angka ini bukanlah asumsi belaka, melainkan hasil perhitungan auditor yang dijadikan dasar hukum. Dengan taksiran kerugian triliunan rupiah tersebut, Kejaksaan Agung menetapkan sejumlah tersangka, termasuk mantan Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar. Menariknya, Emirsyah tidak ditahan lagi oleh Kejagung karena ia telah menjalani hukuman penjara atas kasus suap lain yang diusut KPK. Meski begitu, pertanggungjawaban atas kasus pengadaan pesawat ini tetap berjalan. Fakta kerugian negara Rp8,8 triliun yang dihitung BPKP menjadi "senjata" kunci jaksa untuk membawa kasus ini ke meja hijau. Tanpa audit BPKP tersebut, dugaan korupsi di tubuh Garuda mungkin akan tenggelam menjadi isu bisnis semata tanpa implikasi pidana.
Tak kalah menghebohkan adalah dugaan megakorupsi di sektor energi, tepatnya di lingkungan Pertamina. Pada tahun 2023 terungkap kasus korupsi terkait tata kelola impor minyak mentah dan produk kilang di Pertamina beserta beberapa anak usahanya, yang diduga terjadi sepanjang 2018-2022. Skala penyimpangannya mencengangkan karena menyentuh hajat energi nasional. Kejaksaan Agung bergerak cepat namun tetap berhati-hati: mereka meminta BPK melakukan audit investigatif untuk memastikan nilai kerugian negara. Hasilnya, nilai kerugian negara yang berhasil dihitung mencapai sekitar Rp285 triliun! Angka ini melonjak dari estimasi awal sekitar Rp193 triliun ketika kasus pertama kali diungkap, karena perhitungan terbaru BPK mencakup tidak hanya kerugian keuangan negara tapi juga kerugian perekonomian negara. Dengan audit BPK rampung, pihak Kejagung segera menerima laporan resmi tersebut dan menjadikannya landasan penyusunan surat dakwaan para tersangka. Saat ini sudah 9 orang tersangka dijerat, enam di antaranya pejabat tinggi di subholding Pertamina dan tiga lainnya pihak swasta. Inilah contoh gamblang bahwa audit BPK berfungsi sebagai pintu gerbang penegakan hukum: setelah BPK menyerahkan hasil audit lengkap beserta angka kerugian negara, barulah Jaksa Agung dapat memfinalisasi dakwaan dan membawa kasus Pertamina ini ke persidangan. Dengan nilai kerugian raksasa tadi, tak pelak kasus ini akan menjadi benchmark baru dalam sejarah pemberantasan korupsi Indonesia. Sekali lagi, tanpa pernyataan kerugian negara dari BPK, mustahil aparat penegak hukum berani melangkah pada kasus sebesar ini. Audit BPK memberikan kepastian angka kerugian yang menjadi elemen vital pembuktian unsur korupsi di pengadilan.
Sektor ketenagalistrikan pun tak lepas dari jeratan kasus serupa. Di tubuh PT PLN (Persero), sejumlah proyek mangkrak dan dugaan korupsi juga muncul ke permukaan. Salah satu contohnya adalah proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kalbar 1 berkapasitas 250 MW di Kalimantan Barat. Proyek yang dimulai tahun 2009 ini bernasib tragis: terbengkalai sejak 2016 dengan kemajuan minim, padahal dana triliunan rupiah sudah digelontorkan. Investigasi awal Kepolisian (Kortas Tipikor Polri) mengendus indikasi kuat korupsi dalam proyek tersebut. Informasi yang dikumpulkan menyebut negara dirugikan sekitar Rp1,2 triliun akibat mangkraknya PLTU Kalbar 1. Nilai ini setara dengan nilai kontrak proyek (kombinasi USD 80 juta dan Rp507 miliar) yang sudah dibayarkan PLN, namun tidak menghasilkan output karena proyek tak selesai. Kini penyidik tengah menelusuri pihak-pihak terkait, termasuk mantan pejabat PLN yang menandatangani kontrak dengan perusahaan pemenang tender yang ternyata tidak kompeten. Tiga perkara lain di PLN juga ikut diselidiki, sehingga potensi total kerugian bisa lebih besar lagi. Meski kasus ini masih tahap penyidikan, kuncinya tetap di audit keuangan resmi. Cepat atau lambat, BPK atau BPKP akan dilibatkan untuk menghitung pasti kerugian negara proyek PLTU mangkrak ini. Tanpa audit, nilai Rp1,2 triliun itu baru sebatas estimasi. Begitu hasil audit keluar mengonfirmasi kerugian, barulah penetapan tersangka dan dakwaan kokoh bisa dilanjutkan tanpa celah formil. Pengalaman menunjukkan, temuan BPK atas inefisiensi atau penyimpangan di PLN kerap menjadi alarm bagi APH untuk bertindak. Namun, sekali lagi, temuan itu perlu ditindaklanjuti dengan perhitungan kerugian negara agar dapat naik ke tahap penegakan hukum pidana. Prinsip ini berlaku umum di setiap kasus BUMN.
Dari sektor konstruksi, PT Waskita Karya (Persero) Tbk memberikan contoh lain bagaimana krusialnya audit BPKP/BPK. Waskita tersandung kasus proyek fiktif dan rekayasa laporan keuangan yang terungkap sekitar 2016-2018 dan terus didalami hingga 2023. Modusnya, oknum petinggi Waskita saat itu diduga membuat kontrak kerja sub-proyek fiktif dengan sejumlah perusahaan subkontraktor demi mengeluarkan dana proyek yang kemudian diselewengkan. Awalnya, terungkap ada 14 proyek fiktif dengan nilai kontrak palsu mencapai ratusan miliar rupiah, yang disidik oleh KPK dan menghasilkan kerugian negara sekitar Rp202 miliar menurut audit BPK di 2020. Belakangan, penyelidikan oleh Kejaksaan Agung menguak skandal yang lebih besar terkait penggunaan dana perusahaan untuk kepentingan di luar operasional, sehingga Waskita mengalami tekanan likuiditas parah. Penyidik Jampidsus Kejagung mengidentifikasi setidaknya Rp2,5 triliun dana Waskita telah diselewengkan dalam modus rekayasa keuangan ini. Namun, perlu digarisbawahi bahwa Rp2,5 triliun tersebut belum final sebagai angka kerugian negara. Angka itu adalah total nilai proyek yang diduga fiktif; kerugian riil bagi negara masih harus dihitung secara cermat. Kejaksaan Agung pun menegaskan akan berkoordinasi dengan BPKP untuk melakukan perhitungan kerugian negara yang lebih tepat. Artinya, BPKP diberi mandat menghitung berapa kerugian keuangan negara sebenarnya setelah memperhitungkan dana yang mungkin terselamatkan atau aset yang bisa disita. Hasil audit inilah yang kelak menjadi dasar formil untuk menjerat para tersangka. Sejumlah eks petinggi Waskita, termasuk mantan Direktur Keuangan, telah diperiksa intensif dalam kasus ini. Begitu audit BPKP rampung dan menyimpulkan kerugian negara final (entah tetap Rp2,5 triliun atau berubah), maka berkas perkara akan naik dengan kepercayaan diri penuh dari penuntut umum. Hal ini sesuai pernyataan penyidik bahwa nilai kerugian masih bisa berubah tergantung hasil audit investigatif BPKP. Kita bisa melihat pola konsisten: APH selalu menunggu perhitungan ahli dari BPK/BPKP sebelum melangkah lebih jauh, agar proses hukum tidak cacat formil.
Melalui paparan kasus demi kasus di atas, benang merahnya jelas: Pernyataan kerugian negara oleh BPK atau BPKP adalah prasyarat formil yang sangat krusial dalam penindakan korupsi di Indonesia. Baik kasus Jiwasraya, Asabri, Garuda, Pertamina, PLN, Waskita, maupun BUMN lainnya, semuanya baru dapat ditindaklanjuti ke tahap penegakan hukum (penyidikan, penetapan tersangka, hingga penuntutan di pengadilan) setelah ada temuan resmi audit yang menyatakan kerugian keuangan negara. BPK sebagai auditor eksternal negara, maupun BPKP selaku auditor internal pemerintah, memiliki kewenangan konstitusional untuk menetapkan ada tidaknya kerugian negara serta nilainya. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK sering kali menjadi trigger atau pemicu bagi APH untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam atas indikasi korupsi. Namun, trigger saja belum cukup untuk bukti di pengadilan; dibutuhkan perhitungan kerugian negara yang sahih. Hanya dengan hasil audit resmi, unsur kerugian negara sebagai inti delik korupsi dapat dibuktikan secara meyakinkan di muka hakim. Inilah alasan mengapa BPKP/BPK ibarat benteng legal: tanpa lampu hijau dari auditor, langkah penegak hukum berisiko kandas seperti pada kasus pengadaan laptop Kemendikbudristek tadi. Sebaliknya, ketika auditor sudah mengonfirmasi kerugian negara, maka APH memiliki dasar hukum yang kuat untuk bertindak tegas, sah, dan prosedural terhadap para pelaku korupsi.
Di sinilah peran strategis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti yang kami emban di LSM PENJARA 1 menjadi sangat penting. LSM berfungsi sebagai mata dan telinga masyarakat dalam mengawal tindak lanjut hasil audit tersebut. Kami memastikan bahwa temuan audit -- entah itu temuan BPK ataupun BPKP -- tidak diabaikan begitu saja oleh instansi terkait. LSM dapat mengawasi tindak lanjut temuan BPK oleh instansi pemerintah, memastikan rekomendasi BPK dijalankan, dan melaporkan jika ada gejala ketidakpatuhan atau penyalahgunaan wewenang. Ketika audit menemukan indikasi pidana, LSM bergerak proaktif menyuarakan agar APH segera bertindak. Bahkan, jika temuan BPK sudah jelas mengindikasikan korupsi tetapi belum ditindak, LSM dapat melaporkannya secara resmi kepada penegak hukum -- baik kepolisian, kejaksaan, maupun KPK -- agar diproses lebih lanjut. Ini merupakan bentuk partisipasi masyarakat yang dijamin undang-undang, di mana LSM menjembatani hasil audit dengan aksi penegakan hukum. Selain itu, LSM juga melakukan edukasi publik tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan uang negara. Tekanan publik yang diorganisir LSM dapat mendorong percepatan audit investigatif maupun penanganan kasus korupsi. Semisal, ketika mencium dugaan korupsi di suatu BUMN, LSM dapat mendesak BPK untuk melakukan audit khusus, sebagaimana pernah terjadi di beberapa daerah. LSM juga kerap memantau perkembangan kasus pasca-audit: apakah rekomendasi pengembalian kerugian sudah dijalankan, apakah ada upaya penuntutan ganti rugi, dan seterusnya. Semua ini bertujuan agar hasil audit tidak berujung menjadi laporan di atas kertas saja, melainkan ditindaklanjuti hingga tuntas -- pengawasan internal diperbaiki, kerugian negara dipulihkan semaksimal mungkin, dan pelaku korupsi dipidana setimpal perbuatannya.
Sebagai Ketua Umum LSM PENJARA 1, saya menegaskan bahwa sinergi antara auditor negara, aparat penegak hukum, dan kontrol masyarakat (LSM) merupakan kunci mengurai benang kusut korupsi di BUMN. Audit investigatif BPK/BPKP adalah basis legal, APH merupakan eksekutor hukum, sementara LSM berperan sebagai pengawal publik. Ketiganya harus seiring sejalan. Dengan berpegang pada hasil audit yang akurat dan independen, APH memiliki landasan tak terbantahkan untuk menyeret para koruptor BUMN ke meja hijau. Dan dengan keterlibatan LSM yang vokal dan konsisten, proses tersebut akan terus dalam radar pengawasan publik, mencegah intervensi atau penghentian kasus secara semena-mena. Pada akhirnya, kita semua memiliki tujuan yang sama: memastikan setiap rupiah uang negara dipertanggungjawabkan, dan ketika ada yang mengkhianati amanah itu, mereka mendapatkan ganjaran hukum yang setimpal. Kepastian perhitungan kerugian negara bukan semata soal angka, melainkan soal kepastian hukum. Hanya dengan dasar hukum yang kuatlah perang melawan korupsi dapat dimenangkan secara terhormat. Jangan lagi ada upaya prematur menjerat seseorang tanpa audit kerugian negara yang jelas, dan sebaliknya jangan ada kasus korupsi besar yang dibiarkan tanpa tindak lanjut hanya karena tekanan politik. Hasil audit BPK/BPKP adalah penentu arah: ia bisa membersihkan nama yang tak bersalah, seperti halnya membongkar kejahatan yang merugikan rakyat banyak. Marilah kita junjung tinggi kredibilitas audit negara dan dorong tindak lanjutnya, demi tegaknya keadilan dan akuntabilitas di negeri ini. Hukum harus berdiri di atas bukti yang sah, dan dalam konteks korupsi keuangan negara, bukti sah itu berawal dari laporan audit yang menyatakan: "Ya, telah terjadi kerugian negara sekian triliun rupiah akibat perbuatan melawan hukum." Setelah stempel itu tertera, tidak ada lagi alasan untuk ragu bergerak. Aparat penegak hukum wajib mengejar pelakunya, dan kami di LSM akan terus mengawal prosesnya hingga vonis pengadilan dan pemulihan kerugian terwujud. Itulah esensi penegakan hukum korupsi yang ideal -- berdasar audit, berakhir pada keadilan.