Indonesia adalah negeri yang kaya melimpah akan budaya dari Sabang sampai Merauke. Ragam ritual, upacara adat, tarian, musik, kuliner, dan kerajinan tangan yang sarat makna seolah menjadi relung hati bangsa.
Apresiasi terhadap keanekaragaman budaya ini sudah terjadi sejak lama, namun dalam beberapa tahun terakhir, fenomena viralitas budaya melalui konten digital memberikan perspektif baru dan potensi luar biasa dalam menggarap sektor pariwisata digital.
Sebuah video Pacu Jalur dari Kuantan Singingi, Riau, misalnya, tiba-tiba mencuri perhatian warganet dunia. Seorang bocah lelaki tampil memberanikan diri dalam atraksi mendayung dengan aura yang---jika boleh dikata---"badass".
Gerakan dinamis, sorot mata yang penuh semangat, dan tradisi mendalam yang terpancarkan secara otentik mampu menembus batas geografis.
Viralitas budaya itu menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana media sosial mampu menjadikan festival lokal sebagai magnet wisata global, dan apa elemen strategi yang dapat ditarik untuk mendorong hal serupa?
Menyulut Semangat Lokal, Menggaungkan di Ranah Global
Dalam masyarakat tradisional, festival budaya seperti Pacu Jalur dijalankan dengan alasan utama ritual---misalnya sebagai doa untuk hasil panen, keselamatan para pendayung, atau semata penghormatan pada leluhur. Nilai-nilai spiritual inilah yang menjadi nadi dari festival tersebut.
Namun, di era digital, lebih dari ritual, konten visual dan narasi yang dibungkus dalam platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube memegang peran utama dalam menyebarluaskan pesona budaya.
Apa yang terjadi dengan video seorang anak di Pacu Jalur Riau menjadi contoh konkret: ketulusan dan semangat lokal diekspresikan sangat kuat dalam durasi pendek (sekitar 30--60 detik), cukup untuk memancing rasa ingin tahu dan decak kagum khalayak secara global.
Viralitas muncul bukan hanya atas keunikan gerak dan aksi, tetapi juga atas kualitas sinema amatir ala wartawan sosial: dari sudut kamera yang menarik, audio asli, hingga caption yang menimbulkan empati dan rasa penasaran.
Hal ini menunjukkan bahwa suatu festival lokal dapat mendunia jika dikemas dalam narasi yang otentik, difilmkan dengan sensitivitas estetika, dan disambungkan melalui platform digital yang tepat sasaran.