Lihat ke Halaman Asli

Leya Cattleya

TERVERIFIKASI

PEJALAN

Ketersinggungan Petani Garam Madura, Bukan "Sensi" Biasa

Diperbarui: 2 September 2019   11:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Petani Garam Indonesia (Dokumentasi Pribadi)

Ketersinggungan Petani Garam Madura

Minggu ini adalah minggu yang sibuk bagi pak Jokowi. Belum selesai memikirkan soal persiapan kabinet, hasil Pansel KPK,  konflik Papua, ada juga soal ketersinggungan masyarakat Madura terkait ucapan pak Jokowi tentang kualitas garam Madura.

Beberapa media memberitakan soal petani garam dari Sumenep Madura Jawa Timur yang melakukan unjuk rasa menuntut Presiden Jokowi untuk meminta maaf kepada petani garam Madura. Kitapun tidak terlalu jelas tentang siapa yang ada di belakang demo tersebut. 

Petani garam Madura tidak terima garamnya dianggap lebih rendah kualitasnya dibandingkan dengan garam NTT.

Memang Madura adalah ladang terbesar garam tradisional terbesar di Indonesia, dan bahkan di Asia Tenggara selama 500 tahun. 

Sebagai presiden negeri ini, saya rasa Pak Jokowi sah saja membandingkan kualitas produk produk yang dihasilkan di negerinya, walau secara umum bukan rahasia bahwa kualitas garam Indonesia memang di bawah standar garam dunia. Rupanya ini menjadi sensitif bagi petani Madura, karena keterpurukan industri ini.

Juga karena tim kementrian terkait dianggap belum berhasil melakukan strategi negeri untuk bisa memberdayakan petani garam Indonesia, memperbaiki rantai nilai, di samping menilik kembali kebijakan impor garam.

Garam Produk Sensitif Indonesia

Garam Indonesia punya peran penting untuk konsumsi sebagai garam meja dan juga garam untuk industri. Pada saat yang sama, garam memang produk yang sensitif di Indonesia.

Sensitif karena Indonesia adalah satu dari 2 negara dengan wilayah laut terluas tapi produksi rendah. Sensitif karena garam adalah produk yang pada umumnya dihasilkan oleh kalangan termiskin di masyarakat dan petani garamnya masih tetap miskin. Sensitif karena kualitas garam kurang baik dan sayangnya upaya investasi penerapan teknologi dan upaya pembinaan petani garam sangat terbatas.

Sensitif karena pada umumnya yang tergabung dalam asosiasi adalah bukan dari kalangan petani, tetapi lebih banyak pedagang yang kepentingannya bisa berbeda ketika berbicara soal bimbingan dan pembagian keuntungan petani. Sensitif karena industri ini bukanlah bentuk pasar persaingan (bebas), tetapi lebih merupakan kartel. 

Menurut Susi, praktik kartel yang ada di Indonesia sudah mengakar dengan kuat dalam perdagangan garam nasional. Akibatnya, walau Pemerintah sudah mengetahui praktik tersebut, namun itu masih sulit untuk dihentikan pergerakannya. Kita tahu kartel pangan di Indonesia luar biasa, tidak mudah untuk menghentikannya,” kata Susi (Mongabay.co.id)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline