Lihat ke Halaman Asli

Kholid Harras

Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Keseragaman vs Keberagaman Busana dalam Gamitan Semiotika

Diperbarui: 4 Oktober 2025   14:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arti Penting Keberagaman dalam Masyarakat Indonesia 

Dalam kehidupan modern yang penuh dinamika, busana kerap dipandang sebelah mata, seolah hanya kain penutup tubuh. Namun, melalui kacamata semiotika, ilmu tentang tanda dan makna, busana telah menjelma menjadi bahasa bisu yang sarat makna. Busana, dengan segala aksesoris yang menyertainya, tidak  hanya mencerminkan identitas pribadi, tetapi juga menggambarkan struktur sosial, nilai budaya, hingga konflik kekuasaan dalam masyarakat.

Masalahnya,  di Indonesia, dengan kekayaan etnis, agama, dan budayanya, ketegangan antara busana seragam dan beragam kerap menjadi cerminan tajam dari pergulatan antara kesatuan kolektif dan ekspresi individu.

Dalam semiotika, seragam berperan sebagai _signifier_ yang mengarah langsung pada _signified_ berupa identitas kolektif dan hierarki. Seragam sekolah di Indonesia: putih-merah untuk SD, putih-biru untuk SMP, atau putih-abu untuk SMA, sekilas,  konon dimaksudkan untuk menciptakan kesetaraan, menyamarkan perbedaan sosial-ekonomi antar siswa. Selain itu juga dijadikan simbol disiplin yang mengikat individu pada norma institusi.

Seragam Aparatur Sipil Negara (ASN) atau militer, misalnya, dimaksudkan untuk menegaskan loyalitas mereka kepada negara dan struktur kekuasaan yang berlaku. Dalam organisasi keagamaan atau partai politik, seragam seperti jubah putih atau kemeja parpol menjadi lambang ideologi.

Namun, di balik kesatuan visualnya, seragam sering menjadi alat kontrol sosial. Ia membatasi ekspresi diri, memaksa individu melebur dalam cetakan seragam, dan tanpa sadar memperkuat ketimpangan sosial. Sebaliknya, keberagaman busana hadir sebagai antitesis yang memikat, mewakili kebebasan ekspresi dan pluralitas budaya.

 

Dalam semiotika, keragaman ini adalah tanda _polysemic_—kaya makna dan terbuka untuk berbagai tafsir. Busana adat seperti kebaya Jawa yang elegan, ulos Batak yang penuh simbol, atau baju bodo Makassar yang warna-warni menandakan identitas etnis dan warisan budaya yang tak ternilai.

Di kalangan anak muda, modifikasi seragam sekolah dengan sentuhan K-pop, punk, atau streetwear menjadi bentuk perlawanan halus terhadap homogenitas. Ini bukan sekadar mode, melainkan pernyataan identitas di tengah arus globalisasi.

Dalam ranah keagamaan, busana seperti jilbab stylish, gamis syar’i, niqab, sarung tradisional, atau pakaian spiritual nonkonvensional mencerminkan keragaman keyakinan. Keberagaman ini membuat masyarakat terasa hidup, bak kanvas penuh warna.

Ketegangan antara seragam dan keberagaman inilah yang membuat topik ini menarik untuk dikaji. Ini bukan hanya soal estetika, melainkan konflik nilai dan identitas yang mendalam. Di sekolah, siswa yang memodifikasi seragam—mungkin dengan aksesori atau rok yang dipendekkan—sering dicap pembangkang, padahal itu bisa jadi ekspresi diri yang sehat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline