Lihat ke Halaman Asli

Kisah Berdirinya Candi Borobudur [XVI]

Diperbarui: 19 September 2025   03:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi by kam/ai

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Bagian 16: Persiapan Perang

Beberapa hari setelah gugurnya Indrayana, suasana istana Syailendra perlahan berubah. Dari kesedihan, lahir semangat baru. Pancapana, kini resmi menjadi menantu Prabu Smarattungga, mulai memimpin persiapan besar untuk menghadapi Panangkaran.

Balairung istana dipenuhi para panglima dan prajurit. Peta kerajaan dibentangkan di atas meja batu. Pancapana berdiri tegak, sorot matanya tajam. Di sampingnya, Pramudawardhani mendampingi dengan tenang, sementara Candradewi duduk di sudut, wajahnya masih murung namun penuh tekad.

"Panangkaran tidak akan tinggal diam," ujar Pancapana lantang. "Ia sudah mengirim pembunuh untuk menjatuhkanku. Jika kita menunggu, ia akan menyerang dengan kekuatan penuh. Karena itu, kita harus mendahului dengan persiapan matang."

Seorang panglima maju, menunduk hormat. "Pasukan Syailendra siap, Paduka. Kami memiliki seribu prajurit berkuda, dua ribu infanteri, dan balatentara pemanah dari perbukitan. Namun Mataram di bawah Panangkaran masih lebih kuat."

Prabu Smarattungga menambahkan, "Itulah sebabnya kita harus mengandalkan strategi, bukan hanya jumlah pasukan. Pancapana, aku ingin kau memimpin barisan depan. Anggaplah ini ujian pertama sebagai ksatria dan menantuku."

Pancapana menunduk hormat. "Dengan segenap jiwa raga, aku terima amanat ini."

Malam harinya, Pancapana duduk sendiri di serambi, menatap bulan yang menggantung. Candradewi menghampiri, membawa kendi air.

"Pancapana," katanya lirih, "Indrayana pasti bangga melihatmu sekarang. Tapi aku mohon... jangan biarkan dendam membutakanmu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline