Lihat ke Halaman Asli

Sahid Mbrandhal [2]

Diperbarui: 12 September 2025   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi by kam/ai

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Episode 2 -- Pelarian dan Pencarian

Angin laut Tuban membawa aroma asin malam itu, ketika Raden Mas Sahid melangkah tanpa tujuan. Jalanan desa sepi, hanya sesekali terdengar gonggongan anjing dari kejauhan.

Setiap langkah menjauh dari kadipaten seperti menanggalkan lapisan kebanggaan yang dulu melekat. Kini, ia bukan lagi putra adipati. Ia hanya seorang pemuda yang terusir, membawa rasa bersalah yang menyesakkan.

Di sebuah perempatan desa, Sahid berhenti. Ia menatap ke arah utara, laut luas terbentang. Ke arah selatan, hutan Kendeng menunggu.
"Ke mana aku harus pergi?" gumamnya.

Jawaban itu datang dari rasa lapar. Ia memilih menuju dusun kecil, berharap bisa menukar cincin emas kecil yang masih ia simpan dengan makanan.

Namun di pasar desa itu, orang-orang menatapnya dengan curiga. Seorang lelaki tua bahkan berbisik, "Itu Raden Tuban yang suka berbuat onar, bukan? Jangan dekati dia."

Sahid tercekat. Nama buruknya rupanya sudah mendahului langkahnya. Ia berjalan cepat meninggalkan kerumunan, rasa malu membakar wajahnya.

Hari-hari berikutnya, ia menempuh jalan sunyi. Tidur di gubuk kosong, makan dari apa saja yang bisa ia temukan di ladang.

Hingga suatu sore, di tepi sungai, ia melihat sekelompok anak kecil bermain sambil menyanyikan tembang Jawa. Sahid duduk termenung, hatinya bergetar.
"Aku dulu sering menertawakan orang kecil seperti mereka," bisiknya. "Padahal inilah wajah sejati kebahagiaan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline