Ini aku... Cate, gadis yang selalu gelisah merindukan sesuatu di masa yang akan datang.. berharap mimpiku di istana gubuk kemarin menjadi kenyataaan. Aku lahir besar di negeri timur ibu pertiwi. Kata bapakku, waktu aku lahir. Malam hanya diterangi oleh cahaya bulan, dan bintang. Di rumah hanya diterangi oleh secerca cahaya lampu pelita. Ketika tangisanku terdengar, seolah-olah mampu mengalahkan gelapnya malam ketika itu. Sekarang aku berusia 19 tahun. Bukan waktu yang singkatkan? Tentunya aku bersyukur, aku masih berada di tanah kelahirannku. Aku tumbuh menjadi gadis yang penuh semangat dan bermimpi besar dan punya kerinduan yang tak berujung entah sampai kapan. Ini Kisahku..Kerinduanku untuk negeriku semuanya berawal ketika aku duduk di sekolah dasar di istana gubukku tempatku mencari ilmu dan bekal hidup.
Enam tahun duduk di bangku SD bukanlah waktu yang singkat. Banyak hal yang dilalui dengan tangan terbuka. Belajar dengan memanfaatkan media dan ruangan apa adanya. Tak perlu mewah yang penting bermanfaat. tidak ada bullying dan gengsi atau malu karena tampil apa adanya disekolah karena semuanya sederhana. Prinsip umum yang aku dan temanku yakini adalah yang penting kami bisa sekolah. Aku ingat betul, pada masa itu tak ada cerita anak yang merengek minta dibelikan tas baru karena semuanya menggunakan plastik pembungkus sandal atau plastik detergen yang berukuran besar sebagai pengganti tas. Ketika bumi yang lain sudah menggunakan board marker untuk menari diatas white board kami masih menggunakan kapur putih yang selalu dikikis sedikit demi sedikit diatas papan hitam. Ruangan kelas yang beralas tanah, berdindingkan bambu dan beratapkan ijuk menjadi saksi keceriaan dan semangat kami. Sesekali kelasku hampir roboh karena angin badai, meja kursi basah karena attap ijuk yang tak mampu lagi menahan derasnya airmata bumi, atau sering juga kaki dan sandal tebal oleh tanah karena tanah becek akibat hujan hari kemarin. Meskipun demikian tak ada tangisan anak sekolah untuk berhenti menuntut ilmu... semuanya dinikmati dan disyukuri begitupun aku. Bagiku istana gubukku ini adalah tempat ternyaman yang selalu mengijinkan aku untuk bermimpi setinggi-tingginya. Aku ingat betul. Ketika jam istirahat anak-anak dengan kompak bermain dengan media yang sederhana pula seperti main batu-batuan, lompat karet, dan lain sebagainya. Hal ini dengan situasi yang sama aku alami selama enam tahun di SDku. Ketika aku duduk di bangku kelas 5 SD, mungkin karena akun terpengaruh dengan tontonan tv dirumah tetangga kemarin,, yang mana melihat anak-anak di kota bermain sepeda, gadget dan alat tekhnologi lainnya. Jangan hal tersebut, melihat mobil dan motor yang begitu ramai berjalan diatas jalan raya yang lebar dan mulus, melihat kota yang indah dengan cahaya lampu warna-warni terus benderang kala malam maupun siang. Di Tv tetangga aku lihat, orang orang seberang tak lagi berteriak memanggil atau tak perlu mendatangkan rumah ketika ada keperluan mereka cukup menggunakan hp atau telepon rumah.aku hanya berpikir kapan tempait tinggalku seperti itu? Kapan pemandangan jalan bebatuan dan berlubang didepan rumahku bisa semulus dan sebagus seperti di tv yang aku nonton kemarin? Hal tersebutlah yang selalu aku rindukan. Oh iya, akupun juga teringat istana gubukku tempat aku menggali ilmu... aku berpikir kapan bangunan ini menjelmah menjadi gedung kokoh, dengan atap yang kuat melawah hujan, alas yang tak lagi tanah, dengan lemari buku, dan masih banyak lainnya. Huh... meskipun hanya berangan namun cukup melelahkan juga ya.... kalo dibanding juga yang aku lihat di tv aku bisa kasih nilai 9 sedangkan tempatku masih berada di angka 2. Jauh sekali... tapi itulah kenyataannya.. Suatu hari, setelah pulang sekolah aku bertanya kepada bapaku." Pak, kapan ya kita bisa hidup seperti di tv pak Danil itu?" " gimana nak, kamu mau masuk tv?" tanya bapaku. "bukan begitu lah pak, maksud ku...maksudkun kapan kita punya listrik, jalan yang bagus, signyal untul bisa berkomunikasi?" tanyaku kepada ayah lalu menunduk. "Nak, kamu sekolah yang sungguh-sungguh, jadi orang yang sukses ya... karena ayah yakin suatu saat suaramu akan di dengar orang banyak", kata bapak sambil memelukku. "bapak, bisa melihat kegelisahanmu nak". Akupun membalasnya dengan senyuman. Pesan bapakpun selalu terngiang di telingaku. Bagiku tak cukup untuk berangan saja.
Tak terasa, enam tahun duduk dibangku SD sudah berlalu. Aku begitu senang dan semakin bersemangat ketika bapakku bilang aku akan melanjutkan sekolah di kota. Untuk sampai ke kota akupun menggunakan kendaraan umum yang sering disebut 'oto kol' atau bis kayu dengan lamanya perjalanan sekitar 8 jam. Bis kayu di desaku hanya ada 2. Jadi akupun harus berebutan dengan penumpang lain. Jam keberangkatanku dari desa menuju kota yaitu pukul 01.00 WIT. Jadi aku akan menghabiskan sisa hariku di dalam perjalanan dan akan tiba dikota sekitar pukul 08.00 WIT Yah sangat melelahkan. Diperjalanan aku harus duduk berdesakan dengan orang banyak, pinggang dan pantat terasa sakit ketika sesekali bis kayu harus berjalan diatas jalan bebatuan. Oh sungguh... "kapan aku tiba?" batinku. Ini demi masa depanku dan banyaknya kerinduan yang aku dambakan untuk daerah ku. Di kota, aku tinggal diasrama sekolah. Jadi aku akan pulang kampung ketika libur panjang saja. Di kota banyak hal yang aku pelajari. Mulai dari menyebrang jalan, mengunjungi tokoh besar dan toko buku, serta masih banyak lagi. Kalo aku bisa memberi rating kira-kita kuberi angka 5 jika dibandinngkan dengan keadaan yang kulihat di TV pak Daniel waktu itu. Tapi tak apalah..aku hanya bersyukur meskipun hidup pas-pasan, namun sangat rukun. Selama 3 tahun banyak hal yang aku dapat dikota, mulai dari pola pikir masyarakatnya, cara mereka mendapatkan uang dan bertahan hidup, lingkungan hidup dan lain-lain. Kupikir ada hal yang bisa aku bawa untuk desaku, namun aku pikir masih belum cukup waktu pengamatanku. Untungnya bapak memberikan ku kesempatan untuk melanjutkan sma di kota. Selama SMA aku sungguh serius menjalankan pendidikanku. Tak ada yang berubah, aku tetap kesekolah dengan bis kayu. Masih bersesakakn dengan penumpang lainnya selam enam tahun, masih melewati jalan yang sudah berlubang. Setiap aku dalam situasi seperti ini... bukan rasa rendah diri atu pesimis yang kurasaka melainkan rasa termotivasi dan optimis dalam diri untuk mengubah negeri timur menjadi lebih baik. Ketika 3 tahun dibangku SMA sudah berakhir, aku menikmati dan menghabiskan hari liburku bersama keluarga. aku bersama bapak mencari kayu bakar, berkebun, dan melakukan aktivitas rumah lainnya. Seperti biasa sambil menikmati secangkir kopi, aku dan bapak duduk sambil bercakap. Aku kembali mengangkat topik yang selalu menjadi kerinduan dan kegelisahan terberatku untuk menjadi sebuah kenyataan yaitu kemajuan desaku. Aku bilang ke bapak, "pak, apakah sangat susah ya mendirikan tiang listrik di tempat kita"? "Apakah tanahnya sangat keras sehingga tidak dapat digali pak?" tanyak ku betubi-tubi. Bapak memandangku sejenak, mengambil gelas berisi kopi lalu menikmatinya. Kemudian bapak tersenyum kepadaku dan berkata "nak, kamu anak yang baik, kamu sangat peduli dengan negeri ini. Jika hari ini suara bapak tidak terdengar selama ini, bapak yakin suara mu dan seribu anak muda yang punya semangat sepertimu akan didengar". Aku pun tersenyum menddengar jawaban bapak. sambil berpikir dengan keras, Lalu aku lanjuti lagi perketaanku. " pak... seandainya kita sudah punya penerangan, kita bisa buka usaha pak,... seandainnya kita punya jaringan telpon, tentunya sangat mempermudah kelancaran komunikasi di tempat kita ya pak" kataku terus berangan-angan. Mendengar ocehanku, bapak memelukku dan bilang kepadaku.. nak tak cukup berandai saja... negeri ini butuh anak mudah yang penuh semangat memajukan negeri timur."
Setiap aku gelisah akan kerinduankku ini aku pasti menceritakannya kepada bapak. AKU YAKIN SUATU SAAT INI KERINDUAN AGAR NEGERI TIMUR MAJU MENJADI KENYATAAN. Kerinduan, aku rindu Matahari negeri Timur terlihat oleh negeri lain
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI