Lihat ke Halaman Asli

Karnita

TERVERIFIKASI

Guru

Jangan Bungkam Tragedi Myanmar: Saat Biara Menjadi Sasaran, Kemanusiaan Kita Dipertaruhkan

Diperbarui: 13 Juli 2025   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tragedi kemanusiaan kembali terjadi di Myanmar, 23 warga sipil  tewas imbas serangan udara hantam biara Buddha. /Pexels/Sean P. Twomey.

Jangan Bungkam Tragedi Myanmar: Saat Biara Menjadi Sasaran, Kemanusiaan Kita Dipertaruhkan
“Bahkan langit pun menangis ketika pelindung terakhir itu berubah menjadi kuburan massal.”

Oleh Karnita

Pendahuluan: Ketika Tempat Ibadah Tak Lagi Suci: Latar Kekerasan di Sagaing

Di tengah stagnasi diplomasi regional, peran ASEAN sebagai organisasi kawasan kembali dipertanyakan. Prinsip non-intervensi yang selama ini dijunjung tinggi justru menjadi penghalang dalam merespons pelanggaran HAM yang sistematis di Myanmar. Meski telah menyepakati Five-Point Consensus sejak 2021—yang menekankan penghentian kekerasan dan dialog konstruktif—implementasinya nyaris tidak berjalan. Junta tetap melanjutkan aksi brutalnya tanpa konsekuensi tegas dari negara-negara anggota ASEAN. Sebagaimana disorot oleh Pikiran Rakyat (12 Juli 2025) dalam laporan berjudul “Serangan Udara di Biara Buddha Myanmar Tewaskan Puluhan Warga Sipil”, kekerasan terhadap warga sipil semakin membabi buta, bahkan menyasar tempat ibadah suci seperti biara Buddha.

Namun, dalam kekosongan sikap resmi, harapan justru datang dari masyarakat sipil—baik di kawasan maupun global. Gelombang solidaritas internasional terus tumbuh melalui kampanye digital, petisi daring, dan aksi solidaritas lintas agama. Lembaga seperti ALTSEAN-Burma, KontraS, serta berbagai organisasi kemanusiaan di Asia Tenggara mulai menyuarakan tekanan moral terhadap junta dan mendesak ASEAN agar lebih proaktif dalam merespons tragedi kemanusiaan ini.

Laporan The Diplomat (7 Juli 2025) juga menegaskan bahwa masyarakat sipil dari sejumlah negara anggota ASEAN kini membentuk jaringan advokasi lintas negara untuk menggalang bantuan, mendokumentasikan pelanggaran HAM, dan menyerukan pemantauan independen terhadap kekerasan militer. Ketika aktor negara kehilangan ketegasan, masyarakat sipil menjadi penjaga terakhir nilai kemanusiaan di kawasan. Dalam konteks Myanmar hari ini, solidaritas bukan lagi opsi, melainkan panggilan mendesak bagi semua pihak yang menjunjung martabat manusia.

Sagaing: Wilayah Perlawanan dan Target Militer

Sagaing, salah satu wilayah barat laut Myanmar, sejak lama menjadi kantong perlawanan terhadap junta militer. Pemerintah Persatuan Nasional (NUG)—pemerintahan bayangan yang dibentuk oposisi pro-demokrasi—menyatakan bahwa hanya dalam bulan Juni 2025, sudah lebih dari 90 warga sipil tewas akibat serangan udara militer di seluruh negeri. Dengan kekuatan udara sebagai senjata dominan, militer Myanmar semakin intens menggunakan taktik bombardir terhadap wilayah-wilayah yang dianggap dikuasai oleh PDF. Namun kenyataannya, infrastruktur sipil, sekolah, rumah ibadah, hingga tempat pengungsian menjadi sasaran nyata.

Laporan menunjukkan biara yang menjadi target serangan bukan tempat persembunyian militan, melainkan pelindung terakhir bagi warga yang tak punya lagi tempat aman. Serangan ini terjadi hanya beberapa pekan setelah ofensif militer besar-besaran dilancarkan di area terdekat untuk merebut kembali wilayah yang berhasil direbut kelompok oposisi.

Satu hal menjadi jelas: strategi militer junta kian tak mengenal batas antara kombatan dan warga sipil. Sementara itu, dunia internasional terlihat gagap menghadapi pola kekerasan yang terus berulang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline