Lihat ke Halaman Asli

Karnita

TERVERIFIKASI

Guru

Terusir, Tapi Tak Tersungkur

Diperbarui: 9 Juni 2025   15:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia tak akan musnah karena luka, tapi karena kehilangan harapan. (Dok. Geman Insani)

Terusir, Tapi Tak Tersungkur

"Dikutuk perempuan itu, ditimpakan segala macam kesalahan kepadanya, dikatakan dia wakil iblis, perdayaan syaitan, padahal lelaki itu yang lebih iblis." --- Hamka, Terusir

Oleh Karnita

Pendahuluan

Dalam khazanah sastra Indonesia, nama Buya Hamka bukan sekadar dikenal sebagai seorang ulama atau orator yang fasih, tetapi juga sastrawan yang mampu menjahit hikmah ke dalam prosa. Lahir sebagai Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Buya Hamka telah melahirkan berbagai karya besar, seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan tentu saja, Terusir. Novel ini mungkin tak sepopuler saudaranya yang telah difilmkan, namun justru menyimpan kekuatan naratif yang mengguncang batin secara sunyi.

Pertama kali terbit pada 1940, Terusir merupakan cermin sosial masyarakat Melayu saat kolonialisme masih menancap kukunya. Di tengah budaya patriarkis dan ketimpangan sosial, Hamka menyuguhkan potret getir perempuan yang dikhianati dan disingkirkan. Melalui Mariah, kita melihat tragedi yang bertumpuk bukan hanya karena kesalahan sistem, tapi juga karena mudahnya manusia menghakimi tanpa nurani.

Saya tertarik menulis ulang refleksi ini bukan semata karena kekaguman terhadap bahasa estetiknya yang mendayu, melainkan karena urgensinya masih terasa hingga hari ini. Di tengah kasus-kasus perempuan terpinggirkan karena stigma, Terusir hadir bukan sebagai roman picisan, tapi sebagai naskah perlawanan yang ditulis dengan tinta air mata dan keteguhan seorang ibu. Novel ini pantas menjadi bacaan ulang, bukan hanya untuk dinikmati, tetapi direnungi dengan hati yang terbuka.

Sinopsis Novel Terusir

Mariah, seorang perempuan Melayu yang lemah lembut dan tulus, harus menelan pahitnya fitnah dalam rumah tangga. Ia tak pernah menyangka bahwa suami yang selama ini dicintainya, Azhar, tega mengusirnya dari rumah tanpa mendengar pembelaan. Mariah dituduh berselingkuh, dihina dan diperlakukan layaknya perempuan jalang, padahal hatinya bersih. Lebih menyakitkan lagi, ia dipisahkan dari buah hatinya yang masih kecil, Sofyan, tanpa kesempatan untuk menjelaskan apa pun. Sejak saat itu, langit kehidupan Mariah menjadi kelam.

Tak punya tempat kembali, Mariah terpaksa menumpang di rumah pamannya. Namun, nasib baik tak kunjung berpihak. Istri sang paman memperlakukannya dengan dingin dan kasar, seolah Mariah adalah aib yang harus disingkirkan. Akhirnya, ia pergi dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pekerjaan itu membawanya berpindah dari Sumatra ke Jawa, mengikuti majikannya yang orang Belanda. Tapi kehidupan tetap tak memberi jeda untuk bernapas---majikannya pulang kampung, dan Mariah kembali terombang-ambing, kini di tanah orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline