Lihat ke Halaman Asli

Ivi Wartapradja

Vox Audita Perit Literra Scripta Manet

Dari Ancaman Abrasi ke Penghargaan Nasional:Komitmen Komunal dan Sinergi Sosial Budaya Desa Wisata Ampiang Parak Adalah Kunci Keberhasilan

Diperbarui: 25 Mei 2025   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Desa Wisata Ampiang Parak di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, tidak hanya terkenal karena panorama pantai berderet cemara lautnya, tetapi juga sebagai contoh nyata pengintegrasian pariwisata dengan pengurangan risiko bencana (PRB). Pada 2024, desa ini masuk dalam 50 Besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) dan meraih penghargaan sebagai Desa Tangguh Bencana yang dibiayai World Bank. Prestasi ini berangkat dari komitmen warga mengubah kawasan rawan bencana menjadi destinasi ekowisata berkelanjutan, sekaligus desa pertama di Indonesia yang menyandingkan pariwisata dengan PRB melalui Peraturan Nagari tentang Ekowisata Berbasis PRB dan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP).

Awalnya, kondisi pantai Ampiang Parak sangat memprihatinkan: abrasi menggerus garis pantai, dan ancaman tsunami selalu menghantui. Pada 2015, Haridman---salah satu inisiator---bersama pemuda setempat memulai penanaman cemara laut dan mangrove sebagai "benteng hidup" pemecah ombak. Proses ini penuh tantangan. Mereka sempat gagal dengan ketapang sebelum beralih ke vegetasi yang direkomendasikan Dinas Kelautan. Meski dianggap tidak produktif secara ekonomi, komitmen warga bertahan berkat dukungan pemerintah desa dan pendanaan lembaga internasional seperti Arbeiter Samariter Bund (ASB) Jerman. Bahkan, mereka merancang program edukasi konservasi penyu, rehabilitasi mangrove, dan pelatihan mitigasi bencana yang melibatkan penyandang disabilitas. Upaya ini tidak hanya menyelamatkan lingkungan, tetapi juga menjadi landasan ekowisata berbasis partisipasi masyarakat.

Kolaborasi multidimensi menjadi kunci percepatan kemajuan desa ini. Dukungan Kementerian Pariwisata, BPBD, dan World Bank melalui program Desa Tangguh Bencana membantu penguatan tata kelola, infrastruktur, dan pemasaran. Mereka juga merumuskan Peraturan Nagari tentang Ekowisata Berbasis PRB sebagai panduan hukum pengelolaan wisata yang selaras dengan mitigasi bencana. Hasilnya, pada 2017--2019, pendapatan desa mencapai Rp350--400 juta dari tiket masuk, homestay, dan paket wisata. Menurut Haridman, konsep desa wisata ini telah mendongkrak perekonomian lokal. Setiap bulan, sekitar 4.000 wisatawan berkunjung, dengan peningkatan signifikan di hari libur. 40% pendapatan tiket disalurkan ke kas desa, sedangkan sisanya menggerakkan UMKM seperti kuliner lokal, penyewaan perahu karet, dan kerajinan tangan.

Pada 2019, warga membentuk Kelompak Masyarakat Sadar Wisata (Pokdarwis)  Laskar Pemuda Peduli (LPP) untuk mengelola tiket, homestay, dan paket wisata seperti edukasi mangrove, pelepasan tukik, serta pelatihan PRB. Desa ini juga menjadi percontohan nasional karena integrasi PRB dalam RIPP, sebuah terobosan yang menjadikan Ampiang Parak destinasi wisata pertama di Indonesia yang memadukan konservasi lingkungan, mitigasi bencana, dan pertumbuhan ekonomi.

Analisis Sosial Budaya: Mengapa Ampiang Parak Berhasil?

Keberhasilan desa ini tidak lepas dari karakteristik sosial budaya masyarakatnya. Teori Strukturasi Anthony Giddens (1971) menjelaskan bahwa interaksi antara nilai gotong royong dan kepemimpinan transformasional (seperti peran Haridman) menciptakan dinamika perubahan. Di Ampiang Parak, adaptasi terhadap isu global (seperti ancaman megathrust) dipadukan dengan kearifan lokal (seperti konservasi penyu,tradisi mangampiang dan badampiang) melahirkan identitas wisata unik. Pendekatan Community-Based Tourism (CBT) juga terbukti efektif: awalnya, sebagian warga menolak penanaman mangrove karena dianggap tidak ekonomis, tetapi perubahan sikap terjadi setelah mereka melihat manfaat ekonomi langsung dari kunjungan wisatawan.

Pertanyaan kritis patut diajukan: jika banyak desa memiliki potensi alam, mengapa hanya sedikit yang sesukses Ampiang Parak? Jawabannya terletak pada kompleksitas faktor sosial budaya. Desa ini menunjukkan bahwa alam hanyalah modal awal. Kesuksesan sejati lahir dari kemampuan mengelola konflik, membangun kolaborasi, dan mentransformasi nilai lokal menjadi produk wisata bernilai tambah. Sinergi dengan pihak eksternal (seperti World Bank dan NGO) memang penting, tetapi tanpa komitmen warga yang konsisten, program tersebut hanya akan menjadi proyek sesaat.


Klasifikasi Desa Wisata: Dari Rintisan ke Mandiri

Berdasarkan klasifikasi Kementerian Pariwisata, Ampiang Parak kini berada di kategori maju, yang ditandai dengan:Kemandirian pengelolaan melalui Pokdarwis,Integrasi PRB dalam RIPP sebagai bagian dari daya tarik wisata,Dampak ekonomi signifikan dengan pertumbuhan UMKM dan penyerapan tenaga kerja lokal, Regulasi spesifik seperti Peraturan Nagari tentang Ekowisata Berbasis PRB.

Kategori ini membedakannya dari desa wisata rintisan (fokus identifikasi potensi) atau berkembang (penguatan infrastruktur dasar).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline