Bukan sebuah arogansi bila paradigma positivisme yang hendak dimaknai di sini menghindar dari metafisika, perlu dipahami bahwa pendekatan fisika modern pada penjiwaan Pela Gandong tidak berarti demistifikasi melainkan membentuk sebuah kelindan antara positivisme dan postmodernisme.
Diketahui Aphorisma Pela Gandong sebagai produk budaya hanya ada di Maluku, pemetaan terhadap Pela dan Gandong memiliki demarkasi yang berbeda. Pela memiliki cakupan yang lebih holistik antara satu desa dengan desa yang lain yang tidak latah memiliki hubungan genetik. Sementara Gandong memang pengistilahannya merujuk pada satu desa dengan desa yang lain, namun lebih spesifik sebenarnya terlihat pada Marga atau Familyname sebagai gelar dibelakang nama sekaligus legitimasi satu turunan.
Arkeologi Pela Gandong
Seiring dengan kemoderenan. Maka Pela Gandong dimaknai secara general, misalnya sebutan Pela antara orang Seram Bagian Timur (Geser dan Gorom) terhadap orang Kei pada umumnya. Sementara Gandong pun demikian, antara Seith dan Ouw. Ini menandakan bahwa sebenarnya beberapa desa sudah terdapat migrasi penduduk sejak lama setelah Gandong ini dikenal di desa tersebut. Meski demikian Gandong tetap dijiwai oleh penduduk yang mendiami daerah tersebut. Dapat dilihat kodifikasi atas beberapa Fam misalnya keberadaan ‘Mony’ di desa Seith sama halnya ‘Mony’ yang ada di desa Liang, mereka para ‘Mony’ sering melakukan silaturahmi sesama ‘Mony’ baik diadakan di Liang ataupun di Seith dengan ragam prosesi tertentu.
Migrasi antar kampung terjadi sejak lama, pada beberapa Fam. Sebut saja, Fam ‘Ulath’ di Liang yang datang dari desa Ulat pada saat ekspansi kolonial dengan simbol glorifikatif menyebabkan mereka hadir di Liang. Setelah kehadiran di daerah baru ini, mereka pun menyesuaikan dan mampu beradaptasi dengan baik. Diakui dengan keterlibatan merka pada salah satu Saniri (semacam lembaga legislatif), selain turut pula mengalami akulturasi bahasa secara perlahan dan sampai sekarang sudah menggunakan bahasa pesisir Salahutu khas desa Liang. Mereka dapat hidup rukun dan damai berbaur dengan satu komunitas Fam dengan Komunitas yang lain. Di Seith sendiri, yang terbagi dalam empat kelompok besar dan diketahui eksistensi Fam ‘Mahu’ sebagai Tetua dari komunitas tertua dari empat komunitas besar yang ada di Seith. Ini diperkuat dengan peninggalan suatu wilayah yang oleh masyarakat setempat menyebutnya ‘Kota Lama’ tetapi marga yang lain pun bukan berarti kehilangan peran dalam pemerintahan adat, malah lebih aktif dalam hidup komunal antara yang duluan mendiami daerah tersebut dengan yang datang kemudian. Dengan menghargai kelebihian dan posisi masing-masing mereka dapat hidup rukun dan damai, meskipun riakan konflik internal terjadi baik di dalam desa Liang atau Seith tidak menyebabkan semantic reduction atas Pela Gandong.
Kehidupan komunal seperti itu, menegaskan bahwa Pela Gandong tidak akan pernah hilang dari kehidupan masyarakat Maluku. Sejalan Umar Khayam dalam Ali Anwar Yusuf (2006:59) mengatakan adapun kebudayaan sebagai proses adalah upaya masyarakat untuk menjawab tantangan yang pada suatu tahap perkembangan dihadapkan kepadanya. Maka menurut Ali Anwar, sebagai usaha untuk menjawab tantangan, kebudayaan melibatkan seluruh potensi manusia, baik secara individu ataupun kelompok masyarakat. Dalam tahap ini, kebudayaan merupakan proses yang tidak akan pernah selesai.
Efek Foto Listrik Pela Gandong
Mengacu pada informasi sebelumnya, ternyata Pela Gandong tidak hanya berlaku untuk penduduk yang duluan mendiami suatu desa. Menurut saya, kita tidak dapat menafikan fakta terjadinya konflik 11 September 2011 bahwa yang paling parah tersebar hampir merata pada titik heterogenitas penduduk, di Kompleks Waringin dan di Kompleks Batu Merah (khususnya pemukiman yang hampir tidak ada penduduk asli Batu Merah). Dengan tidak bermaksud mengarah ke Rasisme, namun perlu dipahami bahwa faktor tuntutan sendi ekonomi dapat membuat menurunya sendi-sendi yang lain. Seorang mahasiswa semakin berkurang sensitifitas belajarnya manakala saldo tidak mencukupi lagi untuk menarik uang. Di sisi lain, hipotesis sebagian orang bahwa generasi muda Maluku makin surut memaknai Pela Gandong perlu ditinjau kembali dengan pemaknaan dan strategi yang berbeda.
Dari sudut pandang fisika modern, hemat penulis dapat kita konfersikan situasi konflik tersebut ke dalam tafsiran efek foto listrik. Maka, Pela Gandong diartikan sebagai foton yang oleh Albert Einsten dianggap sebagai gumpalan energi, menurut Einsten foton terkonsentrasi dalam ruang yang terbatas. Sama halnya dengan Pela Gandong yang merupakan kemestian hukum bagi tiap penduduk yang datang dari luar daerah Maluku dapat terpengaruh dengan foton. Kemudian diketahui energi foton terkait dengan frekuensinya yang memenuhi E=hv, dimana:
E=energi, dimisalkan energi Pela Gandong,
h= tetapan Planck (6,6 x 10^-34) dimisalkan pendekatan kondisional yang bersifat kontinue,