Jangan salah. Ini bukan cuma cerita tentang konser musik. Ini juga bukan semata tentang pinjaman online yang membabi buta. Ini kisah tentang generasi yang tumbuh dalam dunia penuh noise dan notifikasi, yang belajar mencintai hidup lewat dentuman drum dan riff gitar, dan yang kini secara perlahan tapi pasti, dibentuk oleh utang.
Coba lihat sekeliling kamu!
Anak-anak muda Gen Z dan milenial awal sedang hidup di tengah dua arus besar: kemudahan teknologi finansial yang menawarkan uang cepat, dan ledakan budaya pop global yang makin akrab di feed Instagram mereka.
Di tengah itulah konser internasional hadir. Bukan cuma acara musik, tapi jadi ajang pembuktian diri. Tiket konser berubah jadi semacam identitas sosial: bahwa kamu gaul, update, dan nggak ketinggalan zaman.
Dan karena harganya nggak main-main, banyak yang akhirnya melihat pinjol sebagai jembatan menuju euforia. Satu klik, satu pindai, satu formulir. Dana cair. Tiket terbeli. Rasanya seolah masalah selesai. Padahal itu baru awal.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan, lebih dari 9 juta anak muda usia 19--34 tahun menanggung utang pinjol per April 2024, dengan nilai total mencapai Rp28 triliun. Survei Infobank bahkan mencatat utang Gen Z saja sudah menyentuh angka Rp43 triliun.
Ini bukan angka kecil. Ini sirene panjang yang seharusnya membuat kita duduk, tarik napas, dan bertanya: sebenarnya ada apa dengan kita?
Pinjol, yang awalnya dimaksudkan sebagai alat bantu darurat, kini menjelma jadi mesin pendukung gaya hidup. Survei Inventure menunjukkan mayoritas Gen Z menggunakannya untuk membeli gawai, pakaian, bahkan tiket konser.
Sebagian besar sadar mereka belum mampu, tapi rasa FOMO bicara lebih keras daripada logika. Keinginan untuk menjadi bagian dari keramaian jadi terasa lebih penting daripada rasa aman secara finansial.
Media sosial ikut memperkuat dorongan itu. Setiap foto dari tribun konser, setiap video sing along di Instagram Stories, jadi semacam propaganda visual: "Lihat, saya ada di sana. Kamu tidak." Siapa yang tahan?