Mohon tunggu...
rahmad faujhan
rahmad faujhan Mohon Tunggu... Mahasiswa di Universitas Lambung Mangkurat

Hanya ingin hidup tenang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Jejak Satelit dalam mendeteksi Bencana Alam di Indonesia

13 Oktober 2025   10:58 Diperbarui: 13 Oktober 2025   10:58 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Satelite ESA - Sentinel-1 (Source European Space Agency)

ESA - Sentinel-1 

Indonesia rawan bencana gempa, tsunami, letusan gunung, banjir, longsor, dan kebakaran hutan sehingga kebutuhan sistem peringatan dini yang cepat dan andal menjadi mendesak. Satelit, lewat penginderaan jauh, kini berfungsi sebagai "mata dari langit": memantau daratan, laut, dan atmosfer secara luas dan berkala sehingga perubahan kritis bisa dideteksi lebih cepat dan respons bisa disiapkan lebih tepat.

1.Bagaimana cara kerja satelit?

Ilustrasi Cara kerja Satelit
Ilustrasi Cara kerja Satelit

Satelit bekerja dengan menangkap radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan oleh permukaan bumi. Data citra yang dihasilkan berbentuk piksel; kualitas informasi ditentukan oleh resolusi spasial (ketajaman), spektral (jumlah band), temporal (frekuensi pengambilan), dan radiometrik (kepekaan sensor). Ketika sensor, wahana (platform), dan sistem pemrosesan dipilih sesuai tujuan, penginderaan jauh menjadi alat efektif untuk mitigasi dan respons bencana. Ada beberapa jenis sensor yang digunakan oleh satalit antara lain: 

  • Sensor optik (pasif)

memanfaatkan cahaya matahari untuk menghasilkan citra warna alami yang mudah diinterpretasi, berguna untuk pemetaan tutupan lahan dan deteksi genangan saat cuaca cerah. Sensor inframerah termal mendeteksi anomali suhu sehingga efektif menemukan hotspot kebakaran hutan dan aktivitas vulkanik, siang maupun malam.

  • Radar SAR (aktif) memancarkan gelombang mikro sendiri dan mampu menembus awan serta bekerja siang/malam ideal untuk pemetaan banjir, deteksi longsor, dan mengukur deformasi permukaan melalui interferometri.
  • Altimeter dan LiDAR memberi pengukuran muka laut dan topografi presisi tinggi penting untuk model tsunami dan pembuatan DEM.
  • Sensor hiperspektral,  menyediakan ratusan band sempit untuk identifikasi material dan kondisi vegetasi secara detail.

Pemilihan sensor selalu bergantung pada jenis bencana, kondisi cuaca, cakupan wilayah, dan kebutuhan resolusi. Penggabungan beberapa sensor sering kali diperlukan untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan andal untuk analisa yang lebih jelas.

2.Jenis sensor Satelit dan penjelasan singkat nya

  • Citra multispektral
    Citra multispektral (mis. Landsat, Sentinel2) merekam pantulan di beberapa pita spektrum terlihat dan dekatinframerah untuk memetakan genangan, tutupan lahan, dan kerusakan pascabencana ketika cuaca cerah; keterbatasannya: terhalang awan dan tidak efektif di malam hari.
  • SAR Radar gelombang mikro
    SAR (mis. Sentinel1) menggunakan gelombang mikro yang menembus awan dan bekerja siang/malam untuk mendeteksi keberadaan air, perubahan permukaan, dan struktur; cocok untuk peta genangan selama hujan dan awan tebal.
  • InSAR dan DInSAR
    Teknik interferometri SAR (InSAR/DInSAR) memanfaatkan rangkaian citra SAR untuk mengukur pergeseran permukaan tanah berurutan dengan presisi subsentimeter sampai centimeter; berguna untuk mendeteksi deformasi tanah yang mengindikasikan risiko longsor.
  • Sensor termal
    Sensor termal satelit (mis. MODIS, VIIRS, Landsat TIRS) mendeteksi emisi panas untuk menemukan titik panas kebakaran dan aktivitas vulkanik; pelengkapnya UAV termal menyediakan resolusi lebih tinggi dan verifikasi lapangan di area sulit dijangkau.
  • Altimetri laut dan integrasi DART GNSS
    Altimetri satelit mengukur tinggi muka laut di samudra untuk mendeteksi anomali gelombang; data ini bila digabungkan dengan buoy DART dan pengamatan GNSS pantai meningkatkan akurasi model tsunami dan waktu peringatan.

SIG juga bisa digabungkan dengan kecerdasan buatan  data satelit diproses menggunakan informasi demografis, infrastruktur, overlay dengan DEM, klasifikasi, serta prosedur koreksi geometris dan radiometrik. Hasilnya ditampilkan sebagai dasbor respons atau peta risiko. Pembelajaran mesin mempercepat proses: Random Forest atau SVM membantu dalam klasifikasi vektor, CNN mengekstraksi karakteristik spasial dari gambar, dan LSTM/RNN menangani pola temporal. GIS dan AI bekerja sama untuk membuat peta reaksi lebih cepat, meningkatkan akurasi deteksi, dan menyebarkan peringatan dengan lebih tepat.Infrastruktur nasional dan kolaborasi. 

Di Indonesia, BMKG, LAPAN/BRIN, dan BIG memainkan peran kunci

  • BMKG pada produk cuaca dan peringatan
  • LAPAN/BRIN pada satelit nasional dan Mission Control
  • BIG pada referensi spasial dan peta dasar. Kolaborasi dengan perguruan tinggi, startup, serta lembaga internasional (Copernicus, NASA, JAXA) penting untuk transfer teknologi, peningkatan kapasitas SDM, dan akses data. Model kerja yang efektif mencakup portal data terbuka (Satu Data), API terintegrasi, pelatihan berkala, serta regulasi yang mendukung berbagi data antar lembaga.

3.Kesulitan operasional dan arah masa depan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun