Lihat ke Halaman Asli

Jepri Anto Priwinata

Mahasiswa Universitas Palangka Raya

Kemajuan yang Mengikis: Ekonomi Naik, Hutan Menjerit dilema Pembangunan di Puruk Cahu

Diperbarui: 12 Juni 2025   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Dua Arah yang Kerap Bertentangan

Puruk Cahu, pusat pemerintahan Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, berada dalam posisi strategis sekaligus menantang: mendorong pertumbuhan ekonomi sambil menjaga kelestarian lingkungan. Wilayah ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa, mulai dari tambang batubara, emas, hingga hasil hutan. Potensi ini menjadikan Puruk Cahu pusat perhatian bagi banyak investor dan pemerintah dalam rangka pembangunan infrastruktur dan sektor industri.

Namun, di balik perkembangan yang menggembirakan itu, muncul berbagai persoalan serius: kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, dan ancaman terhadap kesinambungan ekosistem. Pembangunan ekonomi memang dianggap solusi atas persoalan kemiskinan dan keterisolasian di wilayah pedalaman. Tetapi, muncul pertanyaan penting: Apakah pembangunan saat ini telah mempertimbangkan daya dukung lingkungan? Ataukah kita sedang mengorbankan masa depan demi keuntungan jangka pendek?

Ekonomi Puruk Cahu: Antara Potensi dan Tantangan

Kabupaten Murung Raya dikenal luas sebagai daerah dengan potensi sumber daya alam yang sangat besar. Sektor pertambangan, khususnya batubara, menjadi penyumbang utama bagi pendapatan daerah. Menurut data Badan Pusat Statistik, dalam beberapa tahun terakhir, sektor ini memberikan kontribusi lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah tersebut. Di samping pertambangan, sektor kehutanan dan perkebunan juga turut memberikan sumbangan ekonomi yang signifikan.

Namun, dominasi sektor ekstraktif menimbulkan dilema. Di satu sisi, ia menciptakan lapangan kerja dan menyumbang pendapatan daerah. Di sisi lain, dampak negatifnya sangat nyata mulai dari pembukaan lahan besar-besaran yang merusak hutan, pencemaran air, berkurangnya keanekaragaman hayati, hingga konflik antara perusahaan dan masyarakat adat.

Masyarakat di wilayah pedesaan dan pinggiran Puruk Cahu masih banyak yang hidup dalam kondisi yang kurang sejahtera. Akses terhadap infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan layanan komunikasi masih terbatas. Ketika alam dieksploitasi secara besar-besaran, masyarakat lokal kerap hanya menjadi penonton atau bahkan korban pembangunan yang tidak berpihak kepada mereka.

Kondisi Lingkungan: Terjepit di Tengah Ambisi

Kondisi ekologi di sekitar Puruk Cahu kini semakin tertekan. Luas hutan tropis yang dahulu menjadi paru-paru Kalimantan mulai menyusut drastis akibat perluasan pertambangan dan lahan perkebunan. Sungai-sungai penting seperti Barito dan anak sungainya yang dulunya menjadi sumber air bersih dan pangan bagi warga lokal kini mengalami pencemaran yang cukup serius karena limbah tambang dan pembalakan liar.

Keberadaan satwa langka seperti orangutan, owa, dan berbagai jenis burung eksotis kini juga terancam karena habitat mereka terusik. Komunitas masyarakat adat yang selama ini hidup berdampingan dengan alam kini menghadapi ancaman kehilangan ruang hidupnya. Bukan hanya soal kehilangan sumber makanan dan pengobatan tradisional, tetapi juga soal hilangnya nilai-nilai budaya dan identitas mereka yang berakar pada hutan.

Walaupun pemerintah daerah telah berupaya membuat regulasi seperti zonasi wilayah dan penerapan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), serta mendorong investasi ramah lingkungan seperti green mining, kenyataannya masih banyak tantangan di lapangan. Minimnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum, dan terbatasnya pelibatan masyarakat membuat banyak proyek malah memperparah kerusakan lingkungan.

Komunitas Adat: Pilar Kelestarian yang Ditinggalkan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline