Lihat ke Halaman Asli

Jelajahpedia

Mijelajah Tour Consultant

Pecel Semanggi: Kuliner Legendaris Surabaya yang Terancam jadi Artefak

Diperbarui: 1 Agustus 2025   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar Pecel Semanggi Khas Surabaya (Sumber: Pinterest/Debora Doodoh)

Surabaya mungkin sudah terlalu kenyang dengan puja-puji untuk rawon dan bebek goreng. Tapi sebelum menyebut kota ini surganya kuliner, coba sejenak tengok satu nama yang pelan-pelan menghilang dari ingatan kolektif warganya: Pecel Semanggi.

Kuliner satu ini perlahan menjelma jadi peninggalan arkeologis, lebih sering dibahas di seminar budaya ketimbang ditemukan di rak etalase makanan.

Disajikan dengan pincuk daun pisang, pecel semanggi tampil sederhana: semanggi, toge, kangkung, dan bunga turi bertemu dalam satu harmoni, disiram bumbu kacang legit yang berpadu dengan ubi atau ketela rebus, gula jawa, dan cabai.

Dan jangan lupakan pendamping utamanya; kerupuk puli. Bentuknya kotak, kuning menyala, kriuknya bisa menggoyang relung hati paling sunyi. Kalau belum mencoba kombinasi ini, jangan ngaku warga Surabaya sejati, ya!

Aroma dan rasanya seperti doa nenek moyang yang dituang dalam bentuk sajian sederhana. Tapi semua itu kini lebih sering terdengar sebagai nostalgia ketimbang kenyataan kuliner sehari-hari. Bukan karena rasanya tidak lagi relevan, tapi karena kota ini seperti kehilangan daya cium terhadap aromanya sendiri.

Di tengah gegap gempita kopi latte art kekinian dan ayam geprek level 10, pecel semanggi kini terdorong ke pojok sejarah. Generasi muda tampaknya lebih akrab dengan avocado toast daripada pincuk semanggi. Pecel semanggi tidak instagenik karena terlalu primitif bagi feed Instagram. Atau mungkin juga karena berdagang dengan jalan kaki bukanlah life goal ala Gen Z.

Ironi ini kian menyakitkan jika mengingat bahwa di balik sajian ini; ada puluhan hingga ratusan perempuan tangguh yang masih berjalan kaki, memikul dagangan seberat koper internasional, menyusuri trotoar kota dari pagi hingga sore.

Situasi ini tidak luput dari perhatian akademisi dan wakil rakyat. Prof. Rindawati dari Universitas Negeri Surabaya sejak lama menekankan bahwa pecel semanggi bukan cuma soal rasa, tapi juga menyangkut identitas budaya, relasi sosial, dan memori kolektif warga kota.

Ia percaya, makanan ini bisa hidup kembali jika dikemas secara modern tanpa harus mencabut akarnya. Bagi Rinda, semanggi adalah kuliner yang seharusnya bisa 'menyeberang zaman', dari pincuk ke kemasan food-grade, dari emperan ke etalase digital.

Sementara itu, Arif Fathoni, Wakil Ketua DPRD Surabaya, meyakini bahwa pelestarian kuliner tradisional bukan sekadar tugas ibu-ibu tangguh di jalanan. Kota ini perlu hadir secara aktif, bukan cuma lewat jargon 'pelestarian budaya', tapi dengan menciptakan ekosistem nyata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline