Dengan belanja rumah tangga yang menyumbang lebih dari separuh ekonomi, sumber daya alam yang melimpah, dan pasar domestik yang luas, sebenarnya Indonesia memiliki modal kuat untuk tumbuh hingga enam persen per tahun. Namun, seperti pesawat yang hanya bisa terbang cepat dengan bahan bakar memadai, pertumbuhan itu tidak akan tercapai tanpa dorongan investasi yang lebih agresif, kredit yang lancar, dan aturan hukum yang jelas bagi dunia usaha. Pertanyaan tentang bagaimana hukum menopang pembangunan ekonomi sudah lama menjadi perdebatan dalam kajian law and development. Trubek & Galanter (1974) misalnya, menyoroti krisis dalam studi ini di Amerika Serikat yang membuat banyak akademisi meragukan relevansinya.
Namun, pandangan pesimis tersebut tidak menghentikan upaya mencari kerangka konseptual baru. Merryman (1977) menunjukkan bagaimana hukum dapat berubah mengikuti dinamika sosial, sementara Snyder (1980; 1982) mengaitkan kegagalan law and development dengan teori ketergantungan yang menjelaskan mengapa banyak negara berkembang terjebak dalam pola eksploitatif. Perspektif institusional North (1991) memberi dimensi lain: institusi, termasuk hukum, adalah kunci yang menentukan apakah pertumbuhan dapat berkelanjutan. Pandangan ini kemudian dikembangkan oleh Tamanaha (1995) yang menekankan perlunya belajar dari kegagalan masa lalu untuk merancang strategi pembangunan hukum yang lebih realistis.
Dalam konteks Indonesia, dorongan investasi dan pertumbuhan kredit sering bergerak lebih cepat daripada mekanisme perlindungan. Chibundu (1997) menggunakan metafora palm wine untuk menggambarkan bagaimana hukum bisa menjadi wadah sekaligus pembatas agar energi pembangunan tidak meluap menjadi ekses sosial. Posner (1998) secara lebih teknis menekankan perlunya kerangka hukum yang kondusif bagi investasi, sementara Amy Chua (1998) mengingatkan bahwa pasar, demokrasi, dan etnisitas tidak bisa dipisahkan begitu saja dalam negara berkembang. Cross (2001) bahkan menegaskan adanya korelasi langsung antara hukum dan pertumbuhan ekonomi, meski Davis & Trebilcock (2001) menekankan bahwa reformasi hukum harus dipadukan dengan realitas politik.
Dalam era globalisasi, Barr & Avi-Yonah (2004) menyoroti bagaimana integrasi ekonomi dunia menuntut reformasi hukum yang adaptif, sedangkan McInerney (2005) mengajukan gagasan law and development sebagai praktik demokratis, bukan sekadar instrumen teknis. Chodosh (2005) melalui metodologi perbandingan menekankan pentingnya keadilan global sebagai bagian dari reformasi hukum, dan Kenneth Dam (2006) menautkan secara sistematis antara rule of law dan pertumbuhan ekonomi. Chukwumerije (2009) memberi catatan kritis bahwa retorika supremasi hukum sering kali tidak sesuai dengan realitas lapangan.
Jika dikaitkan dengan teori bipolar values Anna Christensen, jelas terlihat bahwa dorongan investasi yang massif selalu berhadapan dengan tuntutan perlindungan sosial. Hukum, dalam kerangka ini, berfungsi ganda: menyediakan kepastian bagi investor sekaligus menutup celah eksploitasi. Habermas menyebutnya benturan antara sistem dan dunia kehidupan, sebuah dialektika yang juga ditemukan dalam literatur law and development dari era 1970-an hingga kini. Maka, pertumbuhan enam persen bukan semata persoalan teknis modal atau kredit, melainkan ujian apakah sistem hukum Indonesia mampu memadukan rasionalitas ekonomi dengan rasionalitas kemanusiaan. Jika berhasil, hukum menjadi avtur pembangunan; jika gagal, hukum hanya akan menjadi retorika kosong yang menutupi api eksploitasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI