Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Ketergantungan terhadap Internet, Jebakan yang Bikin Ketagihan

Diperbarui: 30 Juli 2021   12:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Telegram|dok. telegrampost.com, dimuat liputan6.com

Pada pertengahan tahun 1990, ibunda saya tercinta berpulang ke rahmatullah. Tentu saja saya sangat sedih, karena berkat didikan dan kasih sayang almarhumah lah, saya berhasil menuntaskan pendidikan di perguruan tinggi.

Padahal, kemampuan ekonomi orang tua saya sebetulnya pas-pasan saja. Dengan segala keterbatasan, doa ibu saya yang rajin salat tahajud demi keberhasilan anak-anaknya, alhamdulillah dikabulkan Allah.

Ketika itu saya baru empat tahun menjadi warga DKI Jakarta. Sedangkan ibu saya tinggal di kota kelahiran saya, Payakumbuh, yang terletak 125 km di utara kota Padang (Sumatera Barat).

Sayangnya, saya tidak sempat menghadiri pemakaman almarhumah karena saya terlambat mendapat informasi meninggalnya sang Ibunda.

Kalau tidak salah ingat, ibu saya meninggal di hari Sabtu dan saya di kantor kebetulan mendapat giliran libur. Sebetulnya, secara resmi ketika itu masih berlaku pola enam hari kerja. Hanya hari Minggu yang libur dan Sabtu bekerja setengah hari.

Namun, kemudian ada masa transisi sebelum diterapkan pola lima hari kerja, di mana karyawan hanya masuk separuh saja di hari Sabtu. Ada yang giliran libur dan ada yang giliran masuk. 

Nah, karena libur, saya jalan-jalan dengan seorang teman ke Pasar Baru, Jakarta Pusat. Belum ada hape saat itu, makanya sepupu saya yang menerima berita meninggalnya ibu saya, bingung mau ke mana mencari saya.

Saya memang tinggal bersama sepupu itu di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, dan di rumah itu tidak ada telpon. Sepupu saya mendapat berita duka itu dari Om yang tinggal di Tebet (juga di Jakarta Selatan) yang mendapat telpon dari Payakumbuh.

Sorenya pas saya sampai di rumah dan ketemu sepupu, ia hanya mengatakan agar saya segera mencari tiket pesawat ke Padang karena ibu saya sakit keras. Rupanya ia tidak tega mengatakan kalau ibu saya sudah tiada.

O ya, selama empat tahun pertama saya di ibu kota, komunikasi antara saya dengan ibu lebih banyak dilakukan melalui surat. Perjalanan surat itu, walau sudah dibubuhi tulisan "Kilat" dengan perangko yang lebih mahal, tetap mebutuhkan 3 hingga 4 hari.

Sejak saya sekolah, ibu adalah "teman" curhat saya yang nomor satu. Tradisi itu berlanjut, meskipun saya sudah tinggal di Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline