Negeri ini bukan negeri yang “kekeringan” sumber pangan, negeri ini hanya “kekeringan” hati nurani.
Menarik menyimak diskusi politik yang menyoroti tentang banyaknya “pesakitan ” dinegeri ini yang kemudian terpilih menjadi seorang kepala daerah, bertugas dan menjalankan roda pemerintahannya dari balik jeruji besi dengan sebelumnya melimpahkan tugas-tugas hariannya kepada sang wakil.
Sambil menunggu keputusan pengadilan yang menyatakan dia bersalah dan harus menjalani masa hukuman para kepala daerah tersebut tetap menyandang “kedudukannya” sebagai pemimpin bagi daerahnya. Didalam undang-undang memang tidak ada larangan yang menyebutkan seorang pesakitan hukum untuk dilantik atau menjalankan tugas sebagai kepala daerah. Azas praduga tidak bersalah jadi seperti dua sisi mata pisau, mau tidak mau harus diterima apapun kondisinya, apapun implikasi yang mungkin timbul dari berpegang teguh pada ketentuan hukum macam itu.
Kepatutan, moralitas, hati nurani memang tidak ikut masuk saat rancangan undang-undang dibuat atau saat undang-undang tersebut disahkan, tanpa atau dengan kesengajaan hal itu terjadi.
Sehingga tidaklah heran ketika mereka-mereka yang menjadi pemimpin bagi daerahnya masing-masing akan berlaku dan bertindak kontradiktif antara citra yang ditonjolkan dengan kelakuan mereka sebenarnya. Korupsi adalah hal yang paling melekat, suka tidak suka, mau tidak mau, banyak pemimpin daerah yang diakhir masa jabatannya atau periode baru kepemimpinannya menjadi tersangka kasus korupsi.
Ini bermula dari sistem politik kita yang “boros” sehingga yang terjadi adalah berlomba-lombanya para calon pemimpin tersebut merebut kursi singgasananya dengan cara apapun. Beban “money politics” menghantarkan mereka menjadi koruptor-koruptor baru dinegeri ini.
Sehingga kita bisa melihat ketimpangan ekonomi dinegeri ini, disatu sisi seseorang bisa menjadikan rumahnya menjadi “show room” mobil-mobil berkelas, disisi yang lain kita bisa melihat rakyat yang harus mencuri dahulu sebelum mengenyangkan perutnya. Ini bukan soal nasib atau takdir antara sikaya dan simiskin, ini soal ketidak becusan pemimpin negeri ini dalam mendistribusikan “keadilan” ekonomi bagi rakyatnya. Ini juga bukan soal sipemalas dan sigiat bekerja, ini soal kejahatan korupsi tersistem yang sudah sedemikian akutnya.
Ada guyonan yang pernah saya dengar, yang mengatakan bahwa uang yang beredar dimasyarakat kini sebagian besar adalah uang hasil korupsi, semakin besar para pemimpin kita melakukan tindak pidana korupsi akan semakin besar peredaran uang dimasyarakat. Imbasnya tentu kepada geliat perekonomian kita, walau hanya tampak seperti fatamorgana saja.
” Prinsip yang berlaku dinegeri ini adalah, biarkan rakyat mati kelaparan yang penting pemimpinnya bisa hidup senang ! “
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI