Di tengah wacana besar tentang pembangunan desa, kerap kali kita melupakan hal-hal kecil yang justru menentukan kualitas kepemimpinan. Sebuah gestur sederhana bisa menjadi cermin nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini terlihat dalam forum rembuk stunting di Desa Pengembur, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah.
Saat usai kegiatan rembuk stunting, kepala desa tampak menolak difoto ketika sedang menikmati nasi kotak yang disajikan panitia. Ia menuturkan bahwa dirinya memang kerap menolak difoto saat sedang makan. Alasannya sepele, namun sarat makna: menjaga perasaan warganya.
Dari sikap kecil itu, kita belajar bahwa pembangunan tidak hanya berbicara tentang angka statistik atau proyek infrastruktur. Lebih jauh, pembangunan juga berkaitan dengan martabat manusia, rasa keadilan sosial, serta kepekaan seorang pemimpin terhadap kondisi nyata yang dialami warganya.
Simbolisme di Balik Meja Makan
Gestur menolak difoto saat makan sesungguhnya adalah bentuk kritik halus terhadap budaya flexing (pamer) yang marak di media sosial. Bagi warga yang sedang berjuang secara ekonomi, melihat pemimpinnya makan dengan santai bisa menimbulkan jarak emosional yang tak kasatmata.
Dalam budaya Sasak, dikenal ungkapan “Araq ngengat, araq nganget” — ada orang yang hanya bisa melihat orang lain makan, namun tak mampu ikut menikmatinya. Pepatah ini menegaskan betapa sensitifnya persoalan meja makan bagi masyarakat yang sedang berjuang hidup.
Dengan menahan diri dari publikasi pribadi, kepala desa justru memperlihatkan kepekaan sosial. Ia memilih menyatukan diri dengan warganya, bukan sekadar lewat pidato, tetapi melalui tindakan kecil yang menyentuh. Inilah kepemimpinan simbolik yang sering terlupakan dalam perbincangan pembangunan.
Dalam konteks rembuk stunting, sikap itu semakin bermakna. Ketika forum membicarakan gizi anak-anak, pemimpin desa memperlihatkan bahwa menjaga martabat warga bisa dimulai dari ruang sederhana. Dari meja makan, lahir teladan etis yang menumbuhkan rasa kebersamaan di tengah masyarakat.
Kepemimpinan dari Hal-Hal Sehari-hari
Apa yang diperlihatkan kepala desa Pengembur adalah wajah kepemimpinan yang jarang mendapat sorotan. Ia tidak sekadar mengumbar target penurunan stunting, tetapi memperlihatkan kepekaan lewat sikap sehari-hari yang membekas pada warga. Itulah kekuatan kepemimpinan berbasis empati.
Kepekaan ini berlanjut pada kebijakan. Usulan peraturan desa tentang tabungan melahirkan, misalnya, menunjukkan keberanian mengambil langkah nyata. Dengan tabungan itu, orang tua dipersiapkan sejak dini untuk kelahiran anak, sehingga tidak ada bayi yang lahir dalam kondisi serba kekurangan.