Lihat ke Halaman Asli

Monyet Ekor Panjang : Antara Hiburan dan Kepunahan

Diperbarui: 15 September 2025   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: UNAIR News, "Monyet Ekor Panjang Berpotensi Transmisi Zoonosis Entamoeba spp. pada Manusia", [http://bit.ly/41SL7W4]

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan satwa liar yang luar biasa. Dari Sabang sampai Merauke, hutan dan alam kita menjadi rumah bagi beragam hewan unik. Di antara sekian banyak satwa tersebut, primata menempati posisi istimewa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Abdul Irhas Ihwanul Muslimin dan timnya, salah satu yang paling mudah ditemui adalah Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis). Primata yang satu ini tersebar luas di Asia Tenggara, terutama di Indonesia. Sesuai namanya, ciri khas yang langsung terlihat ada pada bagian ekornya. Panjang ekor satwa ini hampir sebanding dengan tubuhnya sehingga membuatnya berbeda dari primata lain. Tidak hanya itu, monyet ekor panjang juga punya variasi warna yang menarik ada yang cokelat, abu-abu, bahkan ada corak putih kusam di bagian perutnya. Kombinasi inilah yang membuat mereka mudah dikenali sekaligus menarik untuk diamati.

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dikenal sebagai primata yang cerdas dan lincah, mampu memanfaatkan apa saja di sekitarnya untuk bertahan hidup, mulai dari mencari makanan hingga memilih tempat berlindung. Di hutan, mereka memegang peran penting sebagai "penyebar biji alami". Biji-biji yang mereka makan dan buang akan tumbuh menjadi pepohonan baru, sehingga membantu regenerasi hutan dan menambah keragaman jenis tumbuhan. Inilah salah satu alasan mengapa keberadaan mereka sering disebut sebagai kunci dalam menjaga kelangsungan ekosistem hutan sekaligus mendukung pemulihan hutan yang rusak. Namun, ada sisi lain yang perlu diperhatikan. Ketika persediaan makanan di habitat alami mulai berkurang, monyet-monyet ini sering turun ke pemukiman warga untuk mencari makanan tambahan. Dalam beberapa kasus, mereka merusak tanaman, mengambil hasil panen, bahkan kadang menimbulkan konflik dengan penduduk setempat. Fenomena ini menjadi pengingat nyata bahwa menjaga kelestarian hutan bukan sekadar soal melindungi satwa, tetapi juga penting untuk mengurangi potensi konflik antara manusia dan hewan liar, sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem yang saling bergantung.Sebuah kajian oleh Heriditus Sangkauw dan tim di Hutan Lindung Desa Pulau Jaya, Sintang, mereka menelusuri lebih dekat kehidupan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang masih bertahan di alam liar. Sebagai salah satu primata paling mudah ditemui di Asia Tenggara, (Macaca fascicularis) hidup dalam kelompok sosial yang cukup kompak. Mereka sehari-hari berinteraksi dengan sesamanya lewat bermain, bersuara, hingga aktivitas reproduksi. Persebarannya luas, mulai dari Indonesia, Malaysia, hingga Myanmar. Di Hutan Lindung Desa Pulau Jaya, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, jumlah individu dalam satu kelompok hanya sekitar 4 sampai 13 ekor. Angka ini tergolong kecil jika dibandingkan penelitian Supriatna dan Wahyono (2000) yang menyebutkan bahwa populasi ideal bisa mencapai 20--30 ekor per kelompok. Sayangnya, keberadaan satwa ini semakin terancam. Selain karena habitatnya terus menyempit akibat aktivitas manusia, perburuan ilegal juga masih marak terjadi. Banyak yang ditangkap untuk diperdagangkan dan dijadikan hiburan, praktik yang merugikan satwa sekaligus ekosistem hutan tempat mereka hidup.

Dalam sebuah artikel yang tulis oleh Anton Lucanus, ia menyoroti topeng monyet dengan pertanyaan yang cukup tajam "apakah topeng monyet masih bisa disebut kesenian tradisional Indonesia atau justru bentuk kekejaman terhadap hewan?" Pandangan ini membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang bagaimana kita memandang hiburan rakyat yang melibatkan satwa. Topeng monyet merupakan salah satu hiburan jalanan yang cukup dikenal di Indonesia. Dalam pertunjukan ini, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dilatih untuk menirukan perilaku manusia,. Mulai dari mengenakan pakaian, menari, hingga mengendarai sepeda mini. Sayangnya, di balik pertunjukan yang tampak menghibur, ada kisah pilu yang jarang terlihat oleh penonton. Proses melatih monyet agar patuh bukanlah hal mudah, bahkan seringkali dilakukan dengan cara yang menyakitkan. Satwa yang sebenarnya liar dan dilindungi undang-undang ini kerap dirantai, dipaksa menuruti perintah kejam manusia, hingga mengalami kelaparan. Jika mereka tidak patuh, tak jarang hukuman keras menanti. Beberapa monyet bahkan tidak bertahan lama karena tubuhnya lemah akibat penyiksaan. Bagi sebagian orang, topeng monyet dianggap sebagai mata pencaharian karena keterbatasan lapangan kerja. Namun, praktik ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah hiburan singkat layak dibayar dengan penderitaan satwa?

Atraksi Monyet Ekor Panjang sering jadi hiburan yang menarik perhatian wisatawan. Tak jarang, penonton ikut memberi makanan sebagai bagian dari keseruan. Tapi siapa sangka, kebiasaan sepele ini ternyata menyimpan risiko kesehatan. Sebuah laporan dari News Unair berjudul "Monyet Ekor Panjang Berpotensi Transmisi Zoonosis Entamoeba Spp. pada Manusia" menemukan fakta mencengangkan bahwa lebih dari separuh populasi monyet ekor panjang di kawasan Baluran terinfeksi parasit Entamoeba coli. Parasit ini bisa menular lewat makanan atau air yang tercemar. Memang tidak se - berbahaya kerabatnya yaitu E. histolytica, akan tetapi angka temuan yang tinggi jelas menjadi alarm peringatan. Interaksi terlalu dekat dengan satwa liar, termasuk memberi makan, justru bisa membuka jalan bagi penyebaran penyakit. Karena itu, langkah sederhana seperti menjaga jarak dan tidak asal memberi makan monyet sangat penting bukan hanya untuk kesehatan manusia, tapi juga untuk melindungi keseimbangan ekosistem hutan Baluran.

Monyet ekor panjang bukan sekadar hewan liar yang sering kita temui di hutan, desa, atau kawasan wisata. Mereka punya peran penting dalam menjaga keseimbangan alam, mulai dari membantu penyebaran biji-bijian hingga menjaga keragaman tumbuhan di hutan, sehingga keberadaan mereka sangat berpengaruh bagi kesehatan ekosistem secara keseluruhan. Sayangnya, keberadaan monyet ekor panjang kini makin terancam. Habitat mereka menyusut karena alih fungsi lahan, perburuan ilegal masih terjadi, dan sebagian dimanfaatkan untuk hiburan seperti topeng monyet, yang lebih banyak menimbulkan penderitaan daripada manfaat. Selain itu, interaksi terlalu dekat dengan manusia misalnya memberi makan sembarangan atau mencoba bermain dengan mereka bisa menimbulkan risiko kesehatan, termasuk penyebaran penyakit yang berpotensi menular. Itulah mengapa upaya melindungi monyet ekor panjang menjadi sangat penting. Cara paling sederhana adalah menjaga hutan tetap utuh dan menyediakan ruang aman bagi satwa ini untuk hidup. Menjauhkan satwa liar dari interaksi langsung yang berisiko, tidak memberi makan sembarangan, dan menghentikan praktik-praktik pelatihan yang menyiksa, merupakan langkah nyata yang bisa dilakukan setiap orang. Edukasi kepada masyarakat dan wisatawan juga harus terus ditingkatkan, supaya semakin banyak orang menyadari bahwa hidup berdampingan dengan satwa liar bukan sekadar hiburan atau pengalaman seru, tetapi juga tanggung jawab yang harus dijalankan bersama. Kalau semua langkah kecil ini dijalankan dengan konsisten, bukan hanya monyet ekor panjang yang akan selamat, tetapi manusia pun ikut terlindungi dari potensi konflik maupun penyakit. Menjaga mereka artinya menjaga keseimbangan alam, melindungi keanekaragaman hayati, dan sekaligus mewariskan lingkungan yang sehat untuk generasi mendatang. Dengan begitu, anak-cucu kita kelak masih bisa menyaksikan monyet ekor panjang hidup bebas di habitat aslinya, bukan hanya sebagai cerita atau tontonan masa lalu, tetapi sebagai bagian dari kehidupan nyata yang utuh di alam Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline