Oleh: Ahmad Syaifullah
Pengawasan sektor pertambangan di Indonesia selama ini masih didominasi oleh pendekatan administratif dan legal. Prosedur seperti pengurusan izin usaha, pembaruan dokumen lingkungan, serta sanksi administratif menjadi tolok ukur utama penilaian kepatuhan perusahaan tambang. Namun, pendekatan yang terlalu normatif ini belum menjawab dampak yang lebih kompleks dari aktivitas pertambangan, khususnya terhadap masyarakat sekitar dan lingkungan hidup.
Bukti nyata terlihat dari hasil pengawasan langsung Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) pada 26--31 Mei 2025 terhadap empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, yakni PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa. Dalam pengawasan tersebut ditemukan berbagai pelanggaran serius mulai dari penyimpangan izin lingkungan, pengabaian prinsip tata kelola pulau kecil, hingga pencemaran lingkungan akibat jebolnya settling pond.
Ironisnya, Raja Ampat merupakan kawasan konservasi keanekaragaman hayati dunia yang memiliki lebih dari 553 spesies karang, 1.070 spesies ikan karang, serta ribuan flora dan fauna endemik. Tekanan terhadap ekosistem laut yang sangat sensitif ini kian meningkat akibat ekspansi industri tambang, terutama untuk komoditas nikel yang kini menjadi primadona global dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik.
Sebagai respons, Presiden Prabowo Subianto mencabut empat dari lima izin tambang di wilayah tersebut pada 14 Juni 2025, setelah Greenpeace merilis laporan kerusakan hutan seluas lebih dari 500 hektare dan degradasi ekosistem laut. Meski tindakan ini patut diapresiasi, banyak pihak menilai langkah tersebut cenderung reaktif dan belum menyentuh akar persoalan lemahnya sistem pengawasan tambang secara nasional.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan secara terbuka menyampaikan keprihatinannya. Lembaga ini menilai bahwa pengawasan yang lemah menjadi pemicu utama munculnya konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan potensi korupsi dalam tata kelola sumber daya alam. Selama sistem pengawasan belum diperkuat secara struktural dan interdisipliner, persoalan yang sama akan terus berulang di berbagai daerah.
Langkah-langkah teknis seperti pencabutan izin, pemberian sanksi administratif, atau penegakan hukum memang penting, namun tidak cukup. Pendekatan pengawasan yang ideal harus mencakup dimensi sosial dan ekologis secara simultan. Sudah saatnya paradigma bergeser dari sekadar kepatuhan administratif menuju pengelolaan tambang yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Dalam konteks ini, audit terpadu terhadap seluruh aktivitas pertambangan menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan. Audit tersebut tidak hanya menilai aspek legalitas dan ekonomi, tetapi juga mengevaluasi dampak sosial terhadap masyarakat lokal dan kondisi ekologis di sekitar wilayah tambang.
Dengan mengedepankan konsep ESG (Environmental, Social, Governance), Perlu adanya restorasi ekologis sebagai bagian dari tanggung jawab pascatambang. Pemulihan pascatambang tidak boleh sekadar menutup lubang, melainkan memulihkan kembali fungsi ekosistem , mulai dari kualitas air, tutupan vegetasi, hingga keberadaan flora dan fauna lokal.
Good Mining Practice (GMP) atau Kaidah Teknik Pertambangan yang Baik adalah serangkaian prinsip, metode, dan prosedur yang diterapkan dalam kegiatan pertambangan untuk memastikan bahwa operasi dilakukan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. GMP mencakup aspek-aspek seperti perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dampak lingkungan, keselamatan kerja, dan partisipasi masyarakat.