Hari ini tidak akan sama seperti hari -- hari sebelumnya. Kegiatanku di dermaga memang sama persis dengan hari -- hari sebelumnya. Bahkan pagi ini aku bisa menyelesaikan pekerjaan membongkar muatan ikan dari kapal -- kapal nelayan kemudian dilanjutkan dengan memasukkannya ke dalam keranjang -- keranjang sebelum dimuat ke kapal -- kapal dari pulau -- pulau lain yang datang untuk mengambilnya. Jadi ketika kapal -- kapal tersebut berlabuh aku tinggal menaikkan sesuai permintaan. Yang menjadikan hari ini berbeda dari sebelumnya adalah untuk kali pertama aku bekerja sendiri tanpa bapak. Dua minggu yang lalu bapakku meninggal saat perahu yang ditumpangi dihantam ombak dalam perjalanan pulang dari Dobo. Yang menyesak di hati ini adalah kenyataan bahwa jasad bapakku belum ditemukan hingga hari ini. Setelah usai masa berkabung aku harus kembali menjalankan pekerjaan rutin di dermaga ikan ini. Mulai hari ini aku mengambil alih tanggung jawab bapak untuk membesarkan kedua adikku sekaligus merawat ibuku yang mengalami gangguan penglihatan. Ibuku bukanlah orang yang mudah menyerah pada nasib. Dia tetap ingin mengerjakan semuanya tanpa bantuan orang lain. Bahkan kadang kadang dia memaksa ingin pergi menengok ladang. Meskipun aku merasa keberatan, tetapi ibuku tidak mau aku mengerjakan semuanya. Sungguh tidak tega melihat ibuku yang hampir buta melakukan pekerjaan berat, tapi dia tetap memaksakan diri.
Pagi dini hari tadi diam diam aku bangun lebih awal supaya semua pekerjaan di dapur selesai sebelum aku berangkat kerja di pelelangan ikan. Semua keperluan ibu dan kedua adikku telah aku selesaikan sebelum memasuki waktu subuh. Protes ibu aku abaikan. Dia bilang tidak mau melihat aku terlalu capai jadi biarlah urusan dapur menjadi tanggungjawabnya. Aku hanya berjanji besok gantian ibu yang memasak. Dia baru terdiam ketika aku mencium tangannya berpamitan. Sebelum melepasku pergi, dia mengusap rambutku seraya berpesan agar berhati hati.
Ketika aku menyusuri dermaga menuju tempat kerja, tiba tiba hatiku menjadi rawan. Selama lima tahun aku selalu melintasi jalan ini bersama bapak. Aku sangat menikmati setiap perjalanan menuju tempat kerja bersama bapak. Rasa rindu dan kehilangan kembali menyeruak. Nafasku sedikit tersengal menahan gejolak emosi. Tangis nyaris pecah. Mataku basah. Untunglah suasana masih remang remang jadi muka sedihku tidak begitu terlihat. Kemudian perasaan malu menguatkan hatiku untuk segera mengusir duka agar tidak berlama lama bersemayam di dalam dada. Setelah melaksanakan sholat shubuh, aku segera tenggelam dalam kesibukan rutin menaikkan muatan ke kapal. Entah berapa ratus kilogram ikan sudah aku naikkan ke perahu sejak tadi sampai cahaya matahari menerangi dermaga. Ternyata rasa rindu sama sekali tidak menurunkan semangatku. Justru menambah motivasiku terhadap pekerjaan. Inilah pekerjaan pertama yang bapak ajarkan kepadaku. Pekerjaan yang membuat tungku di dapur terus menyala. Pekerjaan kedua yang diajarkan bapak adalah melaut. Namun semenjak ibu jatuh sakit, kami tidak memiliki perahu lagi. Satu lagi pelajaran yang aku dapatkan dari ibuku yaitu meladang. Dulu saat cuaca buruk atau tangkapan ikan menurun, aku meladang membantu ibu. Tiba tiba aku merasa seseorang sedang memperhatikan semua kegiatanku. Dialah si pemilik lapak pelelangan ikan terbesar di Ngavut. Di sini kami mengenalnya sebagai Haji Daeng. Juragan ikan paling kaya di Ngavut. Aku bekerja untuknya. Pada saat tatapan mata kami bertemu, dia melempar senyum ke arahku membuatku tersipu. Dia mendekatiku, " Kau semakin cekatan dalam bekerja" pujinya.
Selepas isya aku mendampingi kedua adikku belajar. Walau aku tidak sempat menyelesaikan sekolahku di SMP tapi aku menganggap sekolah itu penting. Pada saat duduk di kelas 1 SMP aku memutuskan untuk keluar supaya bisa membantu bapak kerja di tempat pelelangan ikan. Sakitnya ibuku menambah panjang daftar alasanku untuk meninggalkan bangku sekolah yang baru berjalan satu semester. Oleh saudara ibuku dibawa ke rumah sakit di Tual. Bapak harus meninggalkan kami selama seminggu menunggui ibu di rumah sakit. Karena tidak ada yang mengurus kedua adikku, maka aku memutuskan untuk keluar. Sekarang aku menginginkan kedua adikku yang masih duduk di kelas 6 dan 4 bisa menyelesaikan sekolah hingga SMA. Aku bertekad untuk bekerja keras supaya mereka tidak putus sekolah karena alasan biaya.
Sampai sekarang kami tidak tahu apa penyebab sakitnya ibu. Semua ini diawali dengan demam tinggi yang meyerang ibu. Kemudian disusul dengan munculnya ruam di sekujur tubuh. Kedua mata ibu juga terasa sakit dan tidak tidak tahan melihat cahaya. Setelah dirawat seminggu di rumah sakit ibu diperbolehkan pulang. Kami menjual perahu motor untuk biaya pengobatan ibu. Dulu sepulang dari rumah sakit ibu sering mengeluh kedua matanya gatal. Meskipun sekarang keluhan gatal di mata sudah tidak ada, tetapi penglihatan ibu semakin hari semakin buruk. Sekarang bahkan penglihatan ibu menjadi kabur samasekali. Kata dokter di Tual kedua mata ibuku terkena virus. Dengan kondisi seperti itu tentu ibuku tidak bisa leluasa melakukan kegiatan seperti sebelumnya. Tapi pada kenyataannya ibuku semakin hari semakin terbiasa dengan kondisi fisiknya. Sekali waktu dia pergi menengok ladang. Dia mampu mengingat kapan saatnya sayur dipetik. Ada berbagai sayur ditanam ibu di ladang. Lima batang nyiur tumbuh di ladang kami. Pohon sukun tegak berdiri di tengah ladang kami. Dari hari ke hari kami tidak perlu repot dengan sayur untuk makan kami sehari hari. Beras dan lauk aku yang menyediakan.
Tadi malam sebelum tidur ibuku mengingatkanku bahwa esok hari aku genap berusia 18 tahun. Sambil mengusap lembut kepalaku ibu mengatakan sesuatu yang membuatku resah. Dia mengharapkan aku segera menikah. Aku keberatan. Sekarang bukan lagi jamannya untuk menikah usia muda. Tapi aku tidak berani membantah. Hanya mengangguk pelan. Alasan yang sebetulnya adalah aku ingin membesarkan kedua adikku. Jika aku menikah belum tentu aku bisa melakukan hal tersebut. Aku juga ingin memiliki perahu lagi. Lantas siapa yang akan mendampingi ibu jika aku kawin? Kawan -- kawan yang sebaya denganku masih berseragam SMA. Aku tidak merasa malu jika mereka melihatku bekerja di dermaga tapi aku malu jika mereka melihatku mempunyai istri. Penghasilanku sebagai pekerja kasar di dermaga ikan hanya cukup untuk kami berempat. Aku tidak bisa membayangkan apabila ada tambahan satu jiwa lagi yang menjadi tanggunganku. Lagi lagi aku teringat bapakku. Bagaimana dia bisa melakukan semua ini? Masih banyak hal yang harus aku pelajari dari bapak. Terima kasih pun belum sempat aku ucapkan. Dua hal tersebut yang membuatku sedih. Saat dalam kesendirian aku benar benar menangis.
Menjelang lohor aku melihat Haji Daeng meninggalkan desa dengan kapal perintis. Kata teman, dia hendak bepergian ke kampung asalnya di Makassar selama sebulan. Ada keperluan keluarga, begitu informasinya. Untuk menggantikannya menjalankan usaha perikanan selama berada di Makassar dia menunjuk anaknya yang paling tua, Radi. Di usianya yang menginjak 23 Radi tampaknya akan dijadikan penerus usaha bapaknya di kampung kami ini. Tapi kata temanku lagi, Haji Daeng memiliki istri tiga orang. Istri yang paling tua tinggal di Makassar dan yang nomor dua tinggal Ternate. Konon usaha Haji Daeng di kampung halamannya adalah yang terbesar. Selain jual beli ikan, dia juga punya banyak armada kapal niaga. Kata temanku ini, dia pernah merantau ke kota Makassar. Di sana dia bekerja di salah satu kapal niaga milik Haji Daeng. Setelah jeda setahun bulan depan kawanku ini akan kembali ke Makassar. Dia meyakinkanku bahwa kota Makassar sungguh ramai dan luas. Sepanjang umur tempat terjauh yang pernah aku kunjungi adalah Dobo. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk meninggalkan kampung ini.
Radi mewarisi sikap bijaksana bapaknya. Aku senang bekerja untuk keluarga Haji Daeng. Hari ini dia banyak berbicara padaku. Pertama dia mengucapkan banyak terima kasih atas semua bantuan yang telah aku berikan kepada Radi dan Haji Daeng. Agak mengherankan karena keluarga Haji Daeng lah yang lebih banyak membantu keluarga kami melewati masa -- masa sulit. Dari saat ibu masuk rumah sakit hingga saat bapakku tertimpa musibah bantuan dari Haji Daeng selalu menjadi andalan kami. Bapak pernah bilang bahwa kerja merupakan ibadah dan harus dilakukan dengan sepenuh hati. Jadi yang diucapkan Radi kepadaku adalah pujian yang sangat berlebihan. "Bagaimana kalau mulai lusa kau melaut?" tanya Radi kepadaku. Pertanyaannya mengejutkanku. Aku sudah tidak punya perahu jawabku. Jika masih ada perahu tentu aku lebih memilih melaut. "Pak Jufar memutuskan berhenti melaut". Pak Jufar adalah korban selamat perahu tenggelam yang menewaskan bapakku. Dia ditemukan tidak sadarkan diri di pantai Tayando sehari setelah kecelakaan. Dia sering mengalami rasa sakit di bagian kepala akibat cedera dalam musibah tersebut. Akibat rasa sakit yang tak kunjung sembuh ditambah usianya yang menua membulatkan tekadnya untuk berhenti melaut. Selama ini Pak Jufar menyewa perahu milik Haji Daeng. Tapi aku tidak punya uang! Melaut membutuhkan biaya. Selain untuk membayar sewa perahu, aku juga harus membeli solar, membeli balok es dan perbekalan makanan. Dengan halus aku menolak tawaran Radi. Aku belum memiliki cukup kemampuan seperti almarhum bapak dalam menghadapi resiko saat melaut. Selain resiko yang datang dari alam liar, pelaut seperti bapak sanggup menghadapi resiko kerugian. Untuk menghadapi keganasan alam liar aku merasa sanggup melakukannya akan tetapi aku belum tahu bagaimana caranya mendapatkan pinjaman uang untuk modal melaut. Dulu aku tidak sempat memikirkan hal ini karena semua sudah diurus bapak. Oh bapak, mengapa engkau pergi secepat ini? Jeritku dalam hati.
"Kau pakai saja perahu itu" kata Radi datar. Lanjutnya, aku tidak perlu memikirkan uang sewa! Sejurus aku merasa senang dengan tawarannya. Sejenak setelah itu aku tetap merasa belum mampu untuk menyediakan uang untuk solar dan lain lain. Aku juga harus tetap memikirkan kebutuhan harian kedua adikku dan ibu. Bimbang hatiku. Menjadi kuli angkut di dermaga ikan membutuhkan tenaga kuat tapi hasilnya kecil. Melaut membutuhkan kecermatan dalam menghitung musim, arus laut, arah angin dan membaca bintang di malam hari. Selebihnya kita serahkan kepada Yang Maha Pemurah lagi Maha Kuasa, begitu petuah bapak. Saat musim bagus kami bisa mendapatkan hasil yang lebih dari cukup. Kita juga bisa punya banyak waktu untuk keluarga sebelum kembali melaut. Kuli panggul tidak mengenal libur. Tapi pilihan apa lagi yang tersedia bagiku? Radi memahami kesulitanku. Dia hanya ingin membantuku. Aku tersentuh dengan kebaikan hatinya. Cukup lama kami bercakap cakap. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap menolak tawaran Radi. Aku sempat bingung bagaimana cara mengutarakan alasannya karena Radi orang yang cerdas. Berhadapan dengan dia membuat aku salah tingkah dan kesulitan mencari kata -- kata yang tepat supaya tidak membuatnya tersinggung.
Di warung Mama Nafsiah aku bertemu Siti Rofiqoh. Dulu sewaktu masih duduk di bangku SD aku sekelas dengannya. Usiaku setahun lebih tua dari Rofiqoh. Sekarang dia sudah kelas 2 SMA atau kelas 11. Sore itu dia memakai kerudung warna hijau muda dan baju biru. Aku terkesiap melihatnya. Begitu melihatku dia tampak canggung. Pun demikian denganku. Kulit kami kontras. Kulitku semakin legam terbakar matahari, sedangkan kulitnya putih. Rumah Rofiqoh terletak di samping warung. Dia masih kemenakan Haji Daeng. Aku ingin mengajaknya ngobrol tapi hari sudah agak sore. Dan dia tampak terburu buru. Dia hanya melempar senyum ketika kami berpapasan. Perasaanku menjadi serba susah setiap bertemu dengannya. Jantungku berdebar debar setiap dia ada di dekat. Tapi aku diam diam selalu berharap berpapasan dengannya. Belum sekali pun kami berbicara, paling hanya saling tegur sapa. Aku belum memiliki keberanian untuk memulainya. Ah! Segera aku buang jauh jauh perasaan kasih sayang dan rindu ala remaja yang hanya akan membuatku melayang dalam impian kosong. Aku khawatir hal itu akan membuyarkan konsentrasi pada pekerjaan dan tanggung jawab yang aku pikul. Tiba tiba "Kak Dullah". Aku segera menengok ke arah suara yang memanggilku. Terdengar pelan dan bergetar. Langkah Fiqoh sudah mencapai ujung jalan. Membelakangiku. Dengan gamang aku menyeru "Fiqoh!". Rasa cemas mendera batinku. Mukaku mengeras dan membeku. Bibirku kaku seperti batu. Keraguan menyergapku. Dengan nafas yang menderu aku berusaha memanggilnya untuk kedua kalinya. Berhasil! Dia berhenti menungguku! Inilah saatnya begitu tekadku. Jika ini gagal pun aku tidak rugi. Begitu aku menghibur diri.
Kedua kakiku serasa berat untuk melangkah. Tapi demi melihat Fiqoh menanti di ujung jalan membuatku melupakan semua kendala yang tiba tiba muncul. Langkahku sempoyongan. Aku mungkin terlihat konyol dan salah tingkah. Kaki kiriku bahkan sempat terperosok masuk ke got. Aku tidak ingat seperti apa keadaanku. Seraya melangkah mendekati Fiqoh aku mengumpulkan semua keberanian untuk menghadapi segala kemungkinan. Aku yakin inilah saat yang aku tunggu tunggu. Dan Fiqoh sedang menungguku.