Diramu oleh Yus Rusila Noor
Netflix berhasil menggoda saya malam itu untuk menonton film. Untuk kesekian kalinya, seolah tak bosan, saya kembali mengklik sebuah film berjudul The Intern dibintangi oleh Robert De Niro sebagai Ben Whittaker, seorang pensiunan yang selalu berpenampilan necis, elegan, dan berwibawa. Ada juga Anne Hathaway sebagai Jules Ostin, pendiri dan CEO muda sebuah perusahaan e-commerce yang tengah berkembang pesat.
Rasanya, pertama kali saya menonton film yang pertama kali tayang tahun 2015 tersebut adalah ketika di atas pesawat dalam perjalanan menuju ke Amerika Tengah. Film dengan usia penonton 13+ ini sebenarnya film yang ringan saja, tapi sarat makna, dan setiap kali saya menontonnya, ada saja pelajaran baru yang terasa relevan dengan hidup yang angka umurnya terus bertambah ini.
Karakter Ben menghadirkan sosok pensiunan yang tidak pasif. Di usianya yang memasuki 70 tahun, bukannya menikmati hari-hari dengan duduk di teras rumah dan menikmati minuman hangat, ia memutuskan untuk mendaftar ke sebuah perusahaan rintisan (start-up) yang sedang membuka program magang lanjut usia atau senior internship. Ben bukan datang untuk mencari uang, ia datang mencari makna. Ia ingin tetap relevan, ingin tetap bangun pagi dengan alasan untuk keluar rumah, ingin tetap berkontribusi. Jules, dengan energi khas generasi milenial, awalnya ragu mempekerjakannya. Namun, seiring waktu, Ben menunjukkan bahwa kehadiran seorang senior bukan hanya soal pengalaman teknis, tetapi juga tentang ketenangan, perspektif, dan stabilitas emosional yang sering hilang di tengah hiruk pikuk sebuah perusahaan start-up.
"Film ini adalah pelukan hangat yang dibutuhkan dunia kerja modern." --- Rolling Stone
Film ini mendapatkan sambutan positif dari penonton. Di IMDb (Internet Movie Database), film The Intern meraih rating 7.1/10. Banyak kritikus memuji performa Robert De Niro yang memikat, menghidupkan karakter Ben dengan kelembutan dan wibawa. Meski tidak memenangkan penghargaan besar, film ini menjadi salah satu favorit penonton karena pesan humanisnya yang membumi, dimana pengalaman tidak pernah usang, justru menjadi harta karun yang tak ternilai.
Film ini memang bukan blockbuster arsitektural drama, tetapi tanpa dibuat berlebihan, ia menyentuh dengan chemistry hangat, pesan antar generasi, dan narasi yang ringan namun menyentuh.
Menonton film itu, saya jadi merenung. Dunia kerja modern sering kali mengagungkan kecepatan, inovasi, dan semangat muda, hal-hal yang memang penting. Namun, seperti Jules, banyak anak muda yang diam-diam kelelahan menghadapi tuntutan dunia yang berlari begitu cepat. Ben hadir sebagai simbol bahwa pengalaman adalah jangkar, penyeimbang yang membuat kapal tidak mudah terombang-ambing.Â
Saya membayangkan jika di Indonesia ada lebih banyak ruang bagi para pensiunan untuk tetap berkontribusi, bukan karena mereka harus mencari nafkah untuk bertahan hidup, tetapi karena pengalaman mereka memang dibutuhkan. Ketika diundang untuk melakukan perjalanan ke Korea Selatan, saya pernah melihat para senior yang menjaga kafe di tempat wisata pendidikan, melayani pengunjung dengan sabar dan ramah, meskipun dengan gestur tubuh yang sangat berhati-hati dalam bergerak.
Di Singapura, saya sering menemui petugas lansia yang tetap bekerja di sektor publik, menjadi penjaga ketertiban lalu lintas, membantu wisatawan, atau bahkan bekerja di bandara. Saya yakin sebagian besar dari mereka bekerja bukan semata karena uang, Â tetapi karena merasa hidupÂ