Di sebuah desa sunyi di pelosok Jawa Timur, hiduplah seorang pemuda bernama Hasan, seorang santri berusia 17 tahun yang dikenal tekun dan santun. Ia tinggal bersama ibunya, Bu Jamilah, seorang janda yang sederhana dan pekerja keras. Sejak ayah Hasan meninggal ketika ia masih kecil, ibunya menjadi satu-satunya tumpuan hidup sosok yang mengajarkannya mengaji, berpuasa, bekerja keras, dan memaknai hidup dalam kesabaran.
Namun, sejak beberapa bulan terakhir, kondisi Bu Jamilah melemah. Ia mengidap penyakit paru-paru yang semakin hari kian memburuk. Suara napasnya sering terdengar berat, dan batuknya kadang disertai darah. Walau begitu, ia tak pernah meminta Hasan untuk berhenti menuntut ilmu.
Setiap subuh, Hasan bangun lebih awal dari yang lain. Ia memanaskan air untuk ibunya, menyiapkan bubur lembut, lalu berangkat ke Pesantren, yang letaknya 8 kilometer dari rumah. Tak ada kendaraan. Ia berjalan kaki, menapaki jalanan becek, melewati sawah, sungai, dan hutan kecil.
Di pesantren, Hasan menjadi santri yang sangat dihormati karena kerajinannya. Ia hampir tak pernah absen dari salat berjamaah, mengaji, dan belajar kitab kuning. Tapi di balik semangatnya, tersimpan kerinduan dan kecemasan yang mendalamia tahu, ibunya sedang menanti di rumah dalam keadaan sakit, sendirian.
Setiap malam, selepas salat tahajud, Hasan berdoa khusyuk. Ia duduk lama dalam sujudnya, memohon:
"Ya Allah, aku tak meminta banyak. Sembuhkan ibuku. Atau jika Engkau lebih menyayanginya, maka kuatkanlah aku... agar tetap bisa menuntut ilmu meski tanpanya."
Suatu hari, sebuah ujian datang. Hasan diminta oleh gurunya untuk mengikuti dauroh (program intensif belajar) selama 40 hari di luar kota. Itu berarti, ia harus meninggalkan ibunya untuk waktu yang lama.
Ia ragu. Tak sanggup meninggalkan ibunya yang sedang terbaring lemah. Tapi ketika ia mengutarakan niat untuk membatalkan keikutsertaan, ibunya memanggilnya dengan suara pelan.
"Nak, dulu aku belajar hidup dari ayahmu. Sekarang kau harus belajar hidup dari ilmu. Kalau kau khawatir meninggalkanku, maka biarlah aku yang titipkan doaku dalam tasmu. Doaku akan menemanimu ke mana pun kau pergi..."
Hasan menangis. Tapi ia tahu, itulah restu yang selama ini ia cari.