Lihat ke Halaman Asli

Harry Dethan

TERVERIFIKASI

Health Promoter

Mengapa DPR "Gagal" Mewakili Suara Rakyat?

Diperbarui: 22 Agustus 2025   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: static.promediateknologi.id

Setiap kali nama Dewan Perwakilan Rayat atau DPR muncul di pemberitaan, reaksi masyarakat sering kali sudah bisa ditebak: geleng kepala, senyum sinis, atau bahkan umpatan yang keluar begitu saja. Ada semacam pola: DPR sudah lama kehilangan tempat di hati rakyat. Lembaga yang seharusnya menjadi representasi suara kita ini justru lebih sering tampil sebagai simbol jarak antara rakyat dan negara. Padahal, secara konstitusional, DPR adalah "wakil rakyat." Tapi dalam praktiknya, rakyat merasa tidak benar-benar terwakili.

Mengapa begitu? Sederhana saja. Kursi seorang anggota DPR tidak semata-mata lahir dari suara rakyat, tapi dari restu partai politik. Siapa yang menentukan seseorang masuk daftar calon legislatif? Partai. Siapa yang bisa mencoret nama atau mengganti posisi nomor urut? Partai. Bahkan setelah duduk pun, siapa yang bisa menarik kembali kursi anggota DPR lewat mekanisme pergantian antarwaktu? Partai juga. Dalam struktur seperti ini, loyalitas anggota DPR lebih sering diarahkan ke partai ketimbang rakyat. Maka jangan heran jika kita merasa suara kita berhenti di bilik suara saat mencoblos.

Kesenjangan itu makin terasa ketika DPR menjalankan fungsinya sehari-hari. Alih-alih hadir di tengah masyarakat, anggota DPR sering terlihat sibuk di gedung parlemen dengan bahasa-bahasa formal, rapat-rapat kaku, dan agenda yang terasa jauh dari kehidupan nyata rakyat. Ketika harga beras melambung, listrik naik, atau akses kesehatan makin sulit, diskursus di DPR malah berkutat pada revisi undang-undang yang lebih banyak menguntungkan elite politik atau kelompok tertentu. Rakyat pun makin merasa terasing.

Tidak berhenti di situ, kepercayaan publik juga runtuh akibat kasus-kasus korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPR. Skandal demi skandal membuat lembaga ini makin sulit dipercaya. Bayangkan, di tengah jeritan rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, ada wakil rakyat yang justru sibuk memperkaya diri sendiri. Bukankah ini ironi terbesar dalam demokrasi kita? Demokrasi yang seharusnya memberi ruang keadilan justru dicoreng oleh orang-orang yang mestinya menjaga martabatnya.

Tentu kita tidak bisa menutup mata bahwa masalah DPR tidak berdiri sendiri. Ia bagian dari sistem politik yang masih penuh dengan praktik transaksional, politik uang, dan perburuan kekuasaan. Selama sistem ini bertahan, sulit mengharapkan DPR benar-benar bersih dan berpihak penuh pada rakyat. Tetapi menyerah bukanlah pilihan. Jika DPR masih ingin disebut sebagai rumah rakyat, ia harus berani melakukan koreksi besar-besaran.

Kuncinya sederhana tapi mendasar: kembali kepada rakyat. Anggota DPR tidak bisa lagi sekadar mengandalkan retorika di ruang sidang. Mereka harus turun langsung, hadir di tengah masyarakat, mendengar, mencatat, dan memperjuangkan. Demokrasi hanya akan terasa hidup bila rakyat melihat bahwa wakilnya memang bekerja untuk kepentingan bersama, bukan untuk partai, apalagi untuk diri sendiri.

Rakyat pun sebenarnya tidak menuntut terlalu banyak. Kita hanya ingin wakil yang jujur, terbuka, dan bekerja dengan sungguh-sungguh. Wakil yang paham bahwa kursi yang mereka duduki bukanlah simbol kekuasaan, melainkan amanah. Wakil yang sadar bahwa setiap keputusan yang mereka ambil bisa menentukan hidup orang banyak. Wakil yang, ketika namanya disebut, membuat rakyat merasa punya alasan untuk percaya, bukan alasan untuk kecewa.

Jika DPR berani berubah, bayangkan dampaknya. Tidak hanya kepercayaan publik yang pulih, tapi juga legitimasi demokrasi kita yang kembali bermakna. Semoga suatu hari nanti, mungkin, ketika nama DPR disebut, kita tidak lagi geleng kepala atau mengumpat. Kita bisa berkata dengan lega: akhirnya mereka benar-benar bekerja untuk kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline