Lihat ke Halaman Asli

Hadi Hartono

Penulis Lepas, Bisnis digital, Editor naonsia.com dan gerungnews.com

Ketika Bung Karno di Surabaya#Rumah HOS Tjokro Aminoto

Diperbarui: 24 Mei 2025   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: desain dengan Ai

Ketika Bung Karno di Surabaya#Rumah HOS Tjokro Aminoto

Surabaya: Pintu Gerbang Pemikiran Revolusioner

Pada awal abad ke-20, Surabaya berkembang sebagai kota pelabuhan yang ramai dan modern. Namun, di balik geliat perdagangan dan hiruk pikuk kolonial, kota ini menyimpan bara semangat perlawanan. Di jantung kota, berdiri sebuah rumah sederhana di Jalan Peneleh VII No. 29. Rumah itu milik H.O.S. Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam, orator legendaris, dan pemikir progresif. Di sanalah, sejarah Indonesia menemukan salah satu titik baliknya: kedatangan seorang remaja dari Blitar bernama Soekarno.

Anak Guru dari Blitar Datang ke Kota

Soekarno, putra Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai, datang ke Surabaya untuk melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School)—sekolah bergengsi untuk anak-anak elit. Sang ayah menitipkan anaknya ke tangan Tjokroaminoto, karena percaya bahwa lebih dari sekadar menimba ilmu akademik, anak muda harus ditempa oleh lingkungan yang penuh ide dan integritas. Di rumah itu, Soekarno muda tak hanya belajar matematika dan fisika, tapi juga mengenal makna keadilan, penjajahan, dan harga diri bangsa.

Asrama Pemuda Pergerakan

Rumah Tjokroaminoto bukan kos biasa. Ia menjadi semacam “asrama revolusi” yang dihuni oleh sejumlah pemuda penuh idealisme. Di antara mereka ada Muso, Alimin, Semaun, bahkan Kartosuwiryo—semua kelak menjadi tokoh penting dalam sejarah pergerakan, meski menempuh jalan yang berbeda. Di bawah bimbingan Tjokroaminoto, para pemuda itu dididik untuk berpikir kritis, berbicara lantang, dan menulis dengan tajam.

Tjokroaminoto: Guru Bangsa dan Figur Ayah

Sebagai tuan rumah, Tjokroaminoto bukan hanya memberi tempat tinggal dan makan, tapi juga menjadi figur sentral dalam pembentukan karakter. Ia mengajarkan pentingnya adab, disiplin, dan wawasan kebangsaan. Soekarno sangat terkesan dengan kepiawaian Tjokro berpidato. Dari Tjokro-lah ia belajar bahwa kata-kata bisa mengguncang dunia. Ia juga mengamati bagaimana Tjokro mengelola Sarekat Islam—organisasi yang merangkul buruh, petani, dan saudagar, menjadikannya kekuatan rakyat yang terorganisir.

Diskusi Malam dan Semangat Kritis

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline