Sudah tidak asing lagi sebagai rakyat minoritas kita ditindas oleh kelompok mayoritas. Tidak memandang suku, agama, ras, maupun golongan, penindasan memang kerap terjadi di masyarakat ---tidak hanya Indonesia, bahkan dunia. Rumah ibadah yang ditolak mayoritas seperti di Bali pada Masjid As Syafi'iyah, penolakan banyak gereja atau pura di kalangan masyarakat mayoritas, saudara kita Indonesia Timur yang diledeki teman ketika menimba ilmu di luar Papua, dll. Tidak pandang apa pun agamanya, manusia pasti memiliki identitas kawanan karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial.
Psikolog sosial Henri Tajfel, penemu Teori Identitas Sosial, menjelaskan bahwa manusia secara alamiah mengkategorikan diri mereka ke dalam kelompok-kelompok sosial. Identitas kelompok ini tidak hanya membentuk siapa kita, tapi juga bagaimana kita memandang "yang lain". Menurut Tajfel, kita cenderung memfavoritkan kelompok kita sendiri (in-group) dan bisa bersikap diskriminatif terhadap kelompok luar (out-group).
"Manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk mempertahankan identitas positif, dan salah satu caranya adalah dengan mengidentifikasi diri dengan kelompok tertentu," jelas Tajfel dalam penelitiannya. "Ketika identitas tersebut terancam, reaksi pertahanan identitas sering muncul dengan kuat."
Antropolog Arjun Appadurai menambahkan bahwa "ketakutan akan minoritas" sering muncul karena mayoritas merasa khawatir identitas kolektif mereka terancam, meski kadang ketakutan itu tidak berdasar.
Namun, perubahan perilaku ketika bertemu di luar negeri memang menarik. Misalnya, warga Malaysia dan Indonesia yang mungkin saling bersaing di kawasan Asia Tenggara, tapi akan merasa "satu keluarga" ketika berada di Eropa; Seorang suku Jawa dan Sunda akan merasa menjadi saudara ketika mereka ada di Inggris.
Psikolog Jonathan Haidt menyebutnya sebagai "lingkaran moral yang mengembang". Menurutnya, "Identitas kita bersifat bertingkat dan kontekstual. Di kampung halaman, kita mungkin mendefinisikan diri berdasarkan suku atau agama, tapi di luar negeri, identitas nasional atau regional menjadi lebih menonjol."
Sosiolog Rogers Brubaker mengamati bahwa "identitas bukan entitas tetap, melainkan proses yang terus berubah sesuai konteks." Ketika orang Indonesia dari berbagai suku bertemu di luar negeri, mereka mengaktifkan identitas nasional yang lebih luas, mengesampingkan perbedaan suku atau agama yang mungkin menjadi sumber ketegangan di dalam negeri.
Founding Fathers kita berusaha mempersatukan masyarakat Indonesia---dan berhasil--- dengan mencari kesamaan di antara satu dengan yang lain. Bahasa, Bangsa, dan Tanah air yang satu, Indonesia. Namun, pada kala itu kita memiliki satu ancaman yang sama, yaitu Belanda.
Ada teori yang menjelaskan fenomena tersebut, bernama: Teori Konflik Realistik (Realistic Conflict Theory) yang dikembangkan oleh Muzafer Sherif. Teori ini menjelaskan bagaimana kelompok-kelompok yang sebelumnya bertentangan dapat bersatu ketika menghadapi ancaman atau musuh bersama.
Dalam eksperimen "Robbers Cave" yang terkenal pada tahun 1954, Sherif menunjukkan bagaimana dua kelompok anak laki-laki yang awalnya bermusuhan bisa mengatasi konflik mereka dan bekerja sama ketika dihadapkan pada masalah atau ancaman yang mempengaruhi keduanya.
Konsep ini terkait dengan prinsip "musuh dari musuhku adalah temanku" atau dalam istilah politik internasional dikenal sebagai "aliansi berdasarkan kepentingan bersama". Fenomena ini juga berhubungan dengan apa yang disebut "superordinate goals" (tujuan yang lebih tinggi) - yaitu tujuan bersama yang hanya dapat dicapai melalui kerja sama antar kelompok.