Praktik menempelkan plester di mulut saat tidur, atau mouth taping, telah menyebar luas melalui media sosial sebagai solusi untuk mendengkur dan meningkatkan kualitas tidur.
Fenomena ini dipopulerkan oleh buku laris "Breath: The New Science of a Lost Art" karya jurnalis James Nestor, yang mendokumentasikan eksperimen pribadinya di Stanford University di bawah pengawasan Dr. Jayakar Nayak.
Eksperimen tersebut menunjukkan bahwa pernapasan mulut yang dipaksakan selama 10 hari menyebabkan peningkatan drastis dalam mendengkur dan episode sleep apnea. Meskipun praktik ini bertujuan mendorong pernapasan hidung yang secara fisiologis superior, komunitas medis meninjaunya dengan skeptisisme yang signifikan karena minimnya bukti klinis berkualitas tinggi dan adanya potensi risiko yang serius.
Artikel ini akan menganalisis secara kritis patofisiologi pernapasan mulut, keunggulan pernapasan hidung, serta bukti ilmiah dan konsensus ahli mengenai mouth taping.Â
Patofisiologi Pernapasan Mulut Kronis
Bernapas melalui mulut bukanlah kebiasaan sepele, melainkan kondisi patologis dengan konsekuensi multidimensional yang didukung oleh berbagai penelitian. Salah satu dampak paling signifikan terjadi pada anak-anak dalam masa pertumbuhan.
Studi menunjukkan hubungan kuat antara pernapasan mulut dengan perubahan dentofasial, seperti perkembangan "wajah adenoid" (wajah yang lebih panjang dan sempit), maloklusi Kelas II, gigitan silang posterior, dan gigitan terbuka anterior. Menurut Cleveland Clinic, posisi lidah yang salah akibat mulut terbuka dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal pada tulang wajah dan rahang, yang sering kali memerlukan intervensi ortodontik.Â
Pada orang dewasa dan anak-anak, pernapasan mulut kronis secara langsung merusak kesehatan mulut. Aliran udara yang konstan menguapkan saliva, pelindung alami rongga mulut, yang menyebabkan mulut kering (xerostomia). Kondisi ini mengganggu keseimbangan pH dan menciptakan lingkungan ideal bagi bakteri untuk berkembang biak, sehingga meningkatkan risiko gigi berlubang, radang gusi (gingivitis), dan bau mulut (halitosis).Â
Lebih jauh lagi, pernapasan mulut merupakan faktor risiko signifikan untuk gangguan pernapasan saat tidur (sleep-disordered breathing atau SDB). Sebuah studi yang dipublikasikan di PubMed Central menemukan bahwa anak-anak yang bernapas melalui mulut memiliki risiko relatif 4.24 kali lebih tinggi untuk mengalami SDB dibandingkan dengan anak yang bernapas melalui hidung.
Pada orang dewasa, pernapasan mulut dapat memperburuk Obstructive Sleep Apnea (OSA) karena posisi rahang dan lidah yang jatuh ke belakang akan semakin mempersempit jalan napas. Konsekuensi sistemik lainnya termasuk perubahan postur servikal (leher) dan penurunan kekuatan otot pernapasan, seperti yang ditunjukkan dalam sebuah studi kohor terhadap 107 anak.Â