Negara ini seolah sedang menikmati permainan ironi hukum. Revisi terhadap Undang-Undang BUMN yang menghapus status direksi dan komisaris BUMN sebagai penyelenggara negara adalah contoh paling telanjang dari bagaimana hukum dijadikan instrumen perlindungan bagi elite, bukan alat pemberdayaan rakyat. Akibat perubahan ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kehilangan kewenangannya untuk menangkap direksi dan komisaris BUMN yang terbukti korup. Hukum tak lagi tajam ke atas, melainkan tumpul karena sengaja dibengkokkan.
KPK, sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi, hanya memiliki yurisdiksi terhadap penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Jika direksi dan komisaris BUMN dihapus dari kategori itu, maka KPK secara otomatis terhalang untuk bertindak. Yang terjadi bukan kekosongan hukum, melainkan kekosongan keberanian untuk menjunjung keadilan. Negara secara sadar memilih untuk memandulkan institusi antikorupsi, sebuah keputusan yang tidak hanya cacat hukum, tetapi juga cacat etika dan moral publik.
Harus diakui, BUMN adalah entitas strategis. Mereka mengelola sumber daya, uang rakyat, dan menentukan arah kebijakan ekonomi nasional. Ketika orang-orang yang duduk di pucuk manajemen BUMN dikeluarkan dari kategori penyelenggara negara, maka kita sedang menciptakan kekuasaan tanpa pertanggungjawaban. Di sinilah letak kehancuran prinsip dasar demokrasi, kekuasaan yang tidak diawasi adalah benih dari kediktatoran, bahkan dalam konteks ekonomi.
Yang lebih berbahaya, revisi UU BUMN juga memperkuat penerapan prinsip Business Judgment Rule (BJR). Secara teori, prinsip ini melindungi direksi dari jerat hukum selama keputusan bisnis diambil dengan iktikad baik. Tapi mari kita bicara realitas, di Indonesia, batas antara keputusan bisnis dan persekongkolan jahat seringkali nyaris tak terlihat. Dengan mudah, korupsi bisa dibungkus sebagai manuver bisnis. Dan dengan berlindung di balik BJR, mereka yang merampok uang negara dapat menghindari hukuman.
Masalah lain muncul dari kontradiksi hukum yang sengaja dibiarkan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 masih menyebut direksi dan komisaris BUMN sebagai penyelenggara negara. Namun, revisi UU BUMN menegaskan sebaliknya. Hasilnya, kekacauan norma. Undang-undang satu membolehkan penindakan, undang-undang lain melarang. Ketika hukum saling menegasikan, maka celah hukum terbuka lebar, dan di situlah para koruptor berpesta.
Di tengah situasi ini, penegakan hukum kehilangan arah. KPK dipasung. Kepolisian dan Kejaksaan mungkin masih bisa bertindak, tetapi efektivitas dan independensinya selalu menjadi tanda tanya. Siapa yang menjamin bahwa mereka bisa bebas dari intervensi kekuasaan, sementara kita tahu praktik hukum di Indonesia sering kali tunduk pada tekanan politik dan transaksi di balik layar?
Apakah ini pertanda bahwa negara telah kehilangan keberanian untuk melawan korupsi di tubuhnya sendiri? Ataukah ini cara halus untuk memastikan bahwa BUMN tetap bisa menjadi "Ladang Basah" bagi elite kekuasaan, tanpa takut dijerat hukum? Jangan salah. Skandal demi skandal di BUMN, dari Jiwasraya, Garuda, hingga Pertamina telah membuktikan betapa rawannya institusi ini terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Dan kini, bukannya memperkuat pengawasan, negara justru mencabut senjata dari tangan penegak hukum.
Kita tidak butuh basa-basi lagi. Revisi UU BUMN harus dibatalkan. Status penyelenggara negara bagi direksi dan komisaris BUMN harus dikembalikan. KPK harus diberikan kembali kewenangannya untuk masuk dan membersihkan BUMN dari praktik korupsi. Kalau tidak, kita hanya sedang menyaksikan lahirnya kasta baru yang kebal hukum, yang tidak takut hukum karena dilindungi oleh hukum itu sendiri.
Rakyat berhak menuntut keadilan. Uang negara yang dikelola BUMN adalah uang publik. Mereka yang mengelolanya wajib bertanggung jawab secara hukum, bukan justru dilindungi oleh undang-undang yang cacat dari akarnya. Jika demokrasi kita masih hidup, maka hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan. Sebab begitu hukum tak lagi berpihak pada kebenaran, maka yang berkuasa adalah kebohongan yang dilembagakan.
Kalau negara ini masih ingin dipercaya, maka jangan jadikan hukum sebagai pelayan elite. Jadikan hukum sebagai benteng terakhir bagi keadilan. Dan untuk itu, KPK harus dibebaskan dari kungkungan pasal-pasal yang diciptakan hanya untuk melindungi mereka yang bersalah.